Mohon tunggu...
Deni Maldini
Deni Maldini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Pamulang

Mahasiswa yang sedang butuh bimbingan hebat dari senior-senior sastra dałam mencari jati diri sebenarnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengkritik Cerpen Langit Makin Mendung Karya Kipanjikusmin

17 Desember 2023   17:53 Diperbarui: 17 Desember 2023   17:53 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah karya sastra tidak mungkin muncul begitu saja, pasti ada hal yang melatar belakangi sebuah karya sastra tercipta. Faktor sosial, dan budaya masyarakat merupakan hal yang mempengaruhi sebuah karya sastra. Menurut Swingewood dan Laurenson (1972:13) karya sastra merupakan cermin masyarakat. Dengan demikian, karya sastra tidak akan terlepas dari kondisi sosial suatu masyarakat pada saat karya tersebut muncul. Berdasarkan uraian tersebut cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin yang dituliskan tahun 1968, saat itu kondisi sosial Indonesia baru saja rezim orde lama. Saat zaman orde lama seperti yang kita ketahui banyak terjadi pelencengan terhadap kekuasaan, seperti pejabat yang melakukan kesalahan akan tetapi merasa dirinya tidak bersalah. Dan sentralisasi kekuasaan sehingga menimbulkan ketimpangan sosial.

2. Kritik Sosial dalam Cerpen Langit Makin Mendung

a.Kritik terhadap Rezim Orde Lama

"Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis cari kamar sewa) Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan mabuk anggur malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan Anjing!"

Pada kutipan tersebut digambarkan nasib-nasib pengemis betul-betul tidak diperhatikan oleh pemerintah pada masa orde lama. Mereka (para pengemis di luar pagar) mengutuki nasibnya yang buruk dan menanyakan mengapa terlahir sebagai manusia.

"Di depan toko buku 'Remaja' suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak memimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin--. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah ke mana."

Pada kutipan tersebut Kipanjikusmin ingin menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah dan supremasi hukum yang tidak dapat dipercaya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya orang main hakim sendiri, tanpa diselesaikan lewat persidangan.

b.Kritik Sosial

"Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang --lagi palang merah-- kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kmar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot."

Dalam kutipan tersebut Kipanjikusmin seakan-akan mengkritisi masyarakat yang mementingkan nafsu birahi dan tentu saja tidak memikiran efek setelahnya bagaimana. Masyarakat kecil hanya tahu enaknya saja.

PENUTUP

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun