Mohon tunggu...
Deni Lorenza
Deni Lorenza Mohon Tunggu... Lainnya - penulis

Seorang penulis berdedikasi yang mengeksplorasi pengembangan diri dan perubahan hidup melalui tulisan yang inspiratif dan berbasis penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengatasi Label "Bukan Anak Matematika" dan Membangun Pemahaman Matematika

30 Desember 2024   19:20 Diperbarui: 2 Januari 2025   07:16 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengatasi Label "Bukan Anak Matematika": Langkah Menuju Pemahaman Matematika untuk Semua

Bayangkan kalau kita memperlakukan matematika seperti membaca. Misalnya, seorang anak yang lambat membaca tidak langsung diberi label sebagai "bukan anak membaca." Orang-orang akan cenderung berpikir bahwa anak tersebut hanya perlu waktu, perhatian, dan metode belajar yang sesuai. Tapi, anehnya, matematika sering diperlakukan berbeda. Banyak dari kita cepat menyimpulkan bahwa seseorang "bukan anak matematika" hanya karena mereka kesulitan di awal. Label ini tidak hanya menciptakan stigma, tetapi juga menutup pintu terhadap potensi belajar yang sebenarnya.

Contoh nyata datang dari seorang ibu yang dikenal sebagai ahli teknologi pendidikan. Dalam sebuah video inspiratif, ia membagikan pengalaman pribadinya tentang bagaimana label "bukan anak matematika" menempel pada anaknya sejak usia dini. Padahal, siapa yang bisa memastikan kemampuan seorang anak empat tahun dalam matematika? Sayangnya, inilah kenyataan yang sering terjadi: orang dewasa, tanpa sadar, menanamkan pola pikir tetap yang justru membatasi pertumbuhan anak.

Label yang Membatasi: Apa Dampaknya?

Ketika seseorang berkata, "Saya bukan orang matematika," apa sebenarnya yang sedang terjadi? Pada dasarnya, mereka menciptakan tembok penghalang dalam pikiran mereka sendiri. Bayangkan seorang anak yang terus-menerus mendengar bahwa dia "tidak pandai matematika." Lambat laun, ia mulai mempercayai hal itu sebagai fakta.

Sebagai contoh, seorang guru di kelas menyebut salah satu muridnya lambat dalam berhitung. Sementara itu, murid tersebut mulai merasa bahwa tidak ada gunanya mencoba lebih keras. Pada akhirnya, hal ini menciptakan pola pikir tetap (fixed mindset), di mana mereka percaya bahwa kemampuan mereka dalam matematika sudah "mentok." Padahal, matematika, seperti halnya keterampilan lainnya, adalah sesuatu yang bisa dipelajari dengan latihan dan pemahaman yang tepat.

Nah, bagaimana cara kita mengatasi masalah ini? Mari kita bahas empat langkah yang dapat membantu siapa saja membangun hubungan positif dengan matematika.

Percaya: Fondasi Utama

Langkah pertama untuk mengubah persepsi tentang matematika adalah percaya. Percaya bahwa setiap orang punya potensi untuk belajar matematika, termasuk Anda sendiri. Dalam cerita seorang penulis, ia pernah memiliki pengalaman buruk dengan matematika saat masih sekolah. Namun, seorang guru mengatakan bahwa ia bisa sebaik teman-temannya di kelas, asalkan mau mencoba.

Rasa percaya itu, meskipun sederhana, menciptakan efek domino. Ketika orang lain percaya pada kemampuan kita, kita jadi lebih termotivasi untuk mencoba, bahkan ketika hasil awalnya belum sempurna. Orang tua, guru, atau mentor memiliki peran penting di sini. Jika mereka menunjukkan keyakinan bahwa seorang anak bisa berhasil, maka anak tersebut cenderung mengembangkan rasa percaya diri yang sama.

Percaya juga berarti tidak terburu-buru menilai seseorang, terutama anak-anak. Mereka butuh waktu untuk memahami konsep matematika, dan itu adalah hal yang wajar. Bukankah kita semua memulai belajar dari nol?

Memahami, Bukan Menghafal

Salah satu kesalahan besar dalam belajar matematika adalah fokus pada hafalan daripada pemahaman. Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, "Saya tidak tahu mengapa jawabannya begitu, tapi saya hanya menghafalnya"? Nah, inilah yang harus dihindari.

Matematika, pada dasarnya, adalah tentang memahami hubungan antara angka, simbol, dan konsep. Misalnya, ketika mempelajari pecahan, akan jauh lebih efektif jika anak-anak diajarkan untuk memvisualisasikan pecahan tersebut. Bayangkan pecahan sebagai bagian dari sebuah persegi panjang, sehingga anak dapat "melihat" apa itu 1/2 atau 1/4.

Pendekatan ini juga berlaku untuk konsep rasio. Sebagai contoh, bayangkan Anda sedang membuat roti lapis (sandwich). Jika Anda menggunakan dua potong keju untuk setiap tiga potong roti, ini bisa dijelaskan sebagai rasio 2:3. Dengan begitu, matematika terasa lebih relevan dan nyata.

Ketika seseorang memahami konsep matematika, mereka tidak hanya mengingat rumus, tetapi juga tahu kapan dan bagaimana menggunakannya.

Jadikan Matematika Menyenangkan

Siapa bilang belajar matematika harus selalu serius? Faktanya, banyak cara untuk membuat matematika jadi menyenangkan. Salah satunya adalah dengan permainan. Ada banyak permainan yang secara tidak langsung mengajarkan konsep matematika.

Misalnya, game seperti Battleship bisa membantu anak-anak memahami koordinat. Atau, jika Anda pernah bermain Monopoli, Anda pasti tahu bahwa permainan ini melibatkan banyak hitungan: menghitung uang, membuat keputusan investasi, dan sebagainya. Aktivitas sehari-hari seperti berbelanja di pasar juga bisa menjadi pelajaran matematika yang menarik.

Namun, penting untuk diingat: tujuan utama dari permainan ini adalah bersenang-senang. Jangan terlalu memaksakan bahwa setiap aktivitas harus menjadi pelajaran. Biarkan anak-anak menikmati prosesnya, dan pelajaran matematika akan datang dengan sendirinya.

Berikan Kesempatan Kedua untuk Matematika

Banyak orang dewasa yang memiliki hubungan "rumit" dengan matematika. Mungkin karena pengalaman buruk di masa lalu, mereka merasa bahwa matematika bukan untuk mereka. Masalahnya, sikap ini sering kali diteruskan kepada anak-anak mereka.

Jika Anda merasa bahwa Anda "bukan orang matematika," cobalah untuk memberi diri Anda kesempatan kedua. Mulailah dengan hal-hal sederhana. Misalnya, pelajari kembali konsep-konsep dasar seperti pecahan, persentase, atau geometri. Anda mungkin akan terkejut betapa menariknya matematika ketika Anda mendekatinya dengan sikap yang lebih santai dan terbuka.

Sebagai orang tua, penting untuk tidak menunjukkan sikap negatif terhadap matematika di depan anak-anak. Sebaliknya, tunjukkan bahwa Anda bersedia belajar bersama mereka. Dengan begitu, mereka akan melihat bahwa belajar matematika adalah perjalanan yang bisa dinikmati oleh semua orang, bukan hanya mereka yang "berbakat."

Akhir Kata

Matematika adalah keterampilan universal yang dapat dipelajari oleh siapa saja. Dengan menghilangkan label seperti "bukan anak matematika," kita membuka pintu bagi lebih banyak orang untuk mengeksplorasi potensi mereka. Fokus pada pemahaman, bukan hafalan; jadikan matematika menyenangkan; dan berikan kesempatan kedua bagi diri sendiri untuk mencintai dunia angka ini.

Langkah-langkah kecil, seperti percaya pada diri sendiri atau mencari cara kreatif untuk belajar, bisa memberikan dampak besar. Pada akhirnya, keindahan matematika bukanlah sesuatu yang eksklusif. Siapa pun, termasuk Anda, bisa menemukan keajaiban di balik angka dan simbol.

Jadi, mulailah dari sekarang. Percayalah bahwa Anda bisa, dan tunjukkan kepada dunia bahwa tidak ada yang namanya "bukan anak matematika." Dunia angka menunggu untuk dijelajahi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun