Ada pula kekhawatiran mengenai arah perkembangan AI di masa depan, terutama mengingat kebutuhan perusahaan besar seperti Microsoft dan Google untuk memonetisasi investasi mereka dalam teknologi ini. Kita sudah melihat hal ini terjadi pada media sosial, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai alat untuk koneksi, namun akhirnya berkembang menjadi sesuatu yang lebih berfokus pada monetisasi dan penangkapan perhatian. Apakah kita akan melihat pola yang sama dengan AI?
Diskusi ini akhirnya kembali pada kebutuhan dasar manusia untuk berhubungan dengan sesama. Tanpa interaksi manusia, banyak yang percaya bahwa manusia akan kehilangan sebagian dari kemanusiaannya. Teknologi tidak akan pernah bisa sepenuhnya menggantikan koneksi mendalam dan penuh nuansa yang diinginkan manusia. Bahkan di tengah dunia yang semakin digital ini, ada keraguan bahwa teknologi bisa benar-benar memenuhi kebutuhan mendasar ini.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa meskipun teknologi seperti AI dan VR terus berkembang dan memiliki potensi besar untuk mengubah cara kita berinteraksi dan merasakan dunia, ada elemen manusia yang tampaknya tidak bisa direplikasi. Keinginan untuk terkoneksi, berbagi pengalaman, dan merasakan spontanitas dari interaksi manusia adalah hal-hal yang tetap akan menjadi ciri khas manusia, terlepas dari seberapa canggihnya teknologi yang kita miliki.
Dan dengan semua ini, kita perlu merenungkan: Apakah kita siap untuk dunia di mana teknologi memainkan peran yang semakin besar dalam hidup kita, atau akankah kita tetap berpegang teguh pada elemen-elemen kemanusiaan yang membuat hidup kita lebih bermakna? Pertanyaan ini mungkin tidak memiliki jawaban yang mudah, tetapi penting untuk terus kita pertimbangkan saat kita bergerak menuju masa depan yang semakin teknologi-sentris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H