Teknologi terus berkembang dengan pesat, membawa perubahan yang tak terhitung jumlahnya dalam cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Mulai dari internet yang menghubungkan seluruh penjuru dunia hingga kecerdasan buatan (AI) dan realitas virtual (VR) yang membawa kita ke dalam dunia baru yang tampaknya tanpa batas, tidak bisa dipungkiri bahwa kita tengah berada di persimpangan jalan penting dalam sejarah manusia. Namun, seiring dengan semua perkembangan ini, ada pertanyaan mendasar yang harus kita jawab: Bagaimana semua teknologi ini mempengaruhi pengalaman manusia?
Pembicaraan mengenai evolusi teknologi ini seringkali dibarengi dengan kekhawatiran tentang bagaimana teknologi dapat mengubah pengalaman manusia menjadi sesuatu yang berbeda dari yang selama ini kita kenal. Dalam salah satu diskusi yang menarik, beberapa pemikir mengangkat keprihatinan bahwa AI dan VR dapat membawa kita ke arah isolasi pribadi, di mana kita semua hidup dalam dunia yang unik dan terpisah, kehilangan rasa realitas kolektif yang biasanya kita miliki bersama.
Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: "Apa sebenarnya yang membuat kita manusia?" Banyak yang berpendapat bahwa faktor-faktor seperti spontanitas, kesadaran kontekstual, dan pengalaman manusia yang berbagi menjadi pembeda utama antara manusia dengan AI.Â
Meskipun AI mampu meniru beberapa aspek komunikasi manusia, ia tidak memiliki otentisitas dan empati yang hanya bisa ditemukan dalam interaksi manusia yang asli. Ada nuansa yang tidak bisa ditangkap oleh kode-kode algoritma atau pola pembelajaran mesin, dan di sinilah letak perbedaan esensialnya.
Salah satu poin penting yang diangkat adalah tentang perbedaan antara sifat AI yang bisa diprediksi dengan spontanitas dan komunikasi manusia yang penuh dengan nuansa. AI bekerja dengan pola yang telah ditentukan, sementara manusia cenderung bertindak di luar pola dan lebih tidak terduga.Â
Interaksi berulang dengan AI bisa membuat orang semakin menyadari keterbatasannya, yang pada akhirnya membuat interaksi dengan AI terasa kurang nyata. Misalnya, kita mungkin bisa berbicara dengan asisten AI setiap hari, tapi percakapan itu tidak akan pernah memiliki kedalaman emosi atau kejutan seperti yang kita rasakan ketika berbicara dengan teman dekat atau keluarga.
Di sisi lain, ada pula diskusi tentang keinginan manusia untuk memiliki kendali dan prediktabilitas dalam hidup mereka. AI bisa memenuhi kebutuhan ini dengan menyediakan rasa kontrol atas interaksi kita sehari-hari. Namun, ini juga memunculkan kekhawatiran tentang bagaimana hal ini bisa mempengaruhi hubungan manusia di kehidupan nyata, di mana kontrol seringkali tidak didefinisikan dengan jelas. Ada pertanyaan besar di sini: Apakah orang benar-benar ingin memiliki kendali atau mereka lebih suka dikendalikan dalam lingkungan yang dapat diprediksi?
Selain itu, ada pula perdebatan tentang bagaimana AI dapat menyebabkan konvergensi (orang menjadi lebih mirip) atau divergensi (orang menjadi lebih berbeda) dalam pengalaman sosial mereka. Kekhawatiran yang muncul adalah bahwa, dengan adanya teknologi seperti AI dan VR, orang mungkin akan semakin terpisah ke dalam realitas mereka masing-masing, kehilangan kesamaan yang menjadi dasar dari pengalaman sosial bersama. Ini seperti kita semua berada di pesta yang sama, tapi mendengarkan musik yang berbeda melalui earphone kita masing-masing; ada rasa kebersamaan, namun pada saat yang sama, kita terisolasi dalam dunia kita sendiri.
Membahas lebih lanjut mengenai peran AI dalam interaksi sosial, muncul pertanyaan mengapa AI saat ini lebih difokuskan pada interaksi satu lawan satu daripada untuk interaksi berbasis kelompok atau komunitas. Padahal, dalam dunia permainan (gaming), seringkali melibatkan koneksi sosial yang sangat erat. Ada potensi besar di sini untuk menciptakan pengalaman sosial yang lebih mendalam melalui AI, yang mungkin bisa menjembatani kesenjangan antara interaksi manusia dan teknologi.
Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah kesulitan dalam mereplikasi interaksi manusia yang kompleks melalui AI. Interaksi manusia tidak hanya tentang pertukaran kata-kata; ada begitu banyak lapisan emosional, konteks, dan bahasa tubuh yang terlibat. Ini adalah aspek mendasar dari apa yang membuat kita menjadi manusia, dan banyak yang merasa bahwa AI dalam bentuknya saat ini masih jauh dari mampu meniru kedalaman ini secara penuh.
Ada pula kekhawatiran mengenai arah perkembangan AI di masa depan, terutama mengingat kebutuhan perusahaan besar seperti Microsoft dan Google untuk memonetisasi investasi mereka dalam teknologi ini. Kita sudah melihat hal ini terjadi pada media sosial, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai alat untuk koneksi, namun akhirnya berkembang menjadi sesuatu yang lebih berfokus pada monetisasi dan penangkapan perhatian. Apakah kita akan melihat pola yang sama dengan AI?
Diskusi ini akhirnya kembali pada kebutuhan dasar manusia untuk berhubungan dengan sesama. Tanpa interaksi manusia, banyak yang percaya bahwa manusia akan kehilangan sebagian dari kemanusiaannya. Teknologi tidak akan pernah bisa sepenuhnya menggantikan koneksi mendalam dan penuh nuansa yang diinginkan manusia. Bahkan di tengah dunia yang semakin digital ini, ada keraguan bahwa teknologi bisa benar-benar memenuhi kebutuhan mendasar ini.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa meskipun teknologi seperti AI dan VR terus berkembang dan memiliki potensi besar untuk mengubah cara kita berinteraksi dan merasakan dunia, ada elemen manusia yang tampaknya tidak bisa direplikasi. Keinginan untuk terkoneksi, berbagi pengalaman, dan merasakan spontanitas dari interaksi manusia adalah hal-hal yang tetap akan menjadi ciri khas manusia, terlepas dari seberapa canggihnya teknologi yang kita miliki.
Dan dengan semua ini, kita perlu merenungkan: Apakah kita siap untuk dunia di mana teknologi memainkan peran yang semakin besar dalam hidup kita, atau akankah kita tetap berpegang teguh pada elemen-elemen kemanusiaan yang membuat hidup kita lebih bermakna? Pertanyaan ini mungkin tidak memiliki jawaban yang mudah, tetapi penting untuk terus kita pertimbangkan saat kita bergerak menuju masa depan yang semakin teknologi-sentris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H