Mohon tunggu...
Deni Lorenza
Deni Lorenza Mohon Tunggu... Lainnya - penulis

Seorang penulis berdedikasi yang mengeksplorasi pengembangan diri dan perubahan hidup melalui tulisan yang inspiratif dan berbasis penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Kita Menganggap Usaha sebagai Hal yang Bermoral

4 September 2024   09:31 Diperbarui: 4 September 2024   09:36 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah cerita menarik yang bisa mengajak kita berpikir. Bayangkan seorang karyawan bernama Jeff. Ia baru saja diberitahu bahwa pekerjaannya bisa digantikan oleh sebuah perangkat lunak canggih. Namun, berkat kontraknya, Jeff tetap dijamin gajinya selama tiga tahun ke depan, terlepas dari apakah dia tetap bekerja atau tidak. Jeff punya dua pilihan: tetap di rumah sambil menikmati gaji yang sama, atau terus datang ke kantor dan bekerja meski sebenarnya pekerjaannya sudah tidak diperlukan lagi.

Sekarang, mari kita renungkan. Apa yang akan kita pikirkan tentang Jeff berdasarkan pilihannya? Jika Jeff memutuskan untuk terus bekerja meskipun pekerjaannya sudah diambil alih oleh software, banyak orang akan melihatnya sebagai seseorang yang mungkin kurang kompeten tapi lebih "baik" atau "bermoral." Anehnya, ini menunjukkan kecenderungan kita untuk menilai moralitas seseorang berdasarkan seberapa keras mereka bekerja, bukan dari hasil yang mereka capai.

Moralitas Usaha: Mengapa Kita Mengagungkan Kerja Keras?

Apa yang sebenarnya membuat kita menganggap usaha sebagai sesuatu yang lebih moral? Konsep ini sering disebut sebagai "moralitas usaha," yakni anggapan bahwa semakin keras seseorang bekerja, semakin tinggi pula nilai moralnya, terlepas dari hasil yang mereka capai. Menariknya, pandangan ini tidak hanya ditemukan di satu tempat saja. Ini adalah persepsi yang berlaku di berbagai budaya, mulai dari Amerika Utara hingga Korea Selatan, Prancis, bahkan di antara suku Hadza di Tanzania.

Kenapa kita, secara kolektif, begitu mudah terpengaruh oleh moralitas usaha ini? Sederhana saja: kita cenderung menganggap orang yang bekerja keras, bahkan pada tugas yang tidak berarti, sebagai orang yang lebih mungkin dapat dipercaya dan mau membantu. Dalam benak kita, usaha keras dikaitkan dengan niat baik dan ketulusan. Kita cenderung melihat orang yang bekerja tanpa lelah sebagai sosok yang lebih "bernilai" secara sosial, bahkan jika pekerjaan mereka tidak benar-benar berdampak pada hasil yang positif.

Kerja sebagai Identitas: Fenomena Workism dan "Perlombaan" Kerja Keras

Kemudian muncul konsep "workism," yaitu gagasan bahwa pekerjaan bukan hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga menjadi identitas dan cara mencapai aktualisasi diri. Dalam budaya kerja saat ini, banyak dari kita yang mengaitkan nilai diri dengan seberapa keras kita bekerja. Ini memicu semacam "perlombaan" kerja keras di mana orang-orang berlomba-lomba untuk menunjukkan dedikasi dan etos kerja yang lebih tinggi daripada rekan-rekannya.

Bayangkan dua orang karyawan yang selalu datang lebih awal ke kantor. Setiap hari mereka datang lebih pagi daripada sebelumnya, mencoba membuktikan bahwa mereka lebih rajin dan lebih berdedikasi. Mereka ingin menunjukkan kepada manajemen dan rekan-rekannya bahwa mereka adalah pekerja yang tidak kenal lelah. Namun, ironisnya, situasi seperti ini justru bisa menyebabkan overwork dan burnout. Ketika kerja keras menjadi standar moral, kita sering kali terjebak dalam siklus berlebihan yang tidak sehat.

Biaya dari Mengagungkan Kerja Keras yang Berlebihan

Tentu saja, kerja keras sangat penting ketika ada tujuan yang jelas dan bermakna. Namun, ketika kerja keras dianggap bernilai hanya demi kerja keras itu sendiri, kita bisa terperangkap dalam pola pikir yang merugikan. Alih-alih fokus pada hasil yang bermakna, kita justru terpaku pada penampilan semata---berapa lama waktu yang dihabiskan di kantor, seberapa banyak email yang dikirim, atau seberapa sibuk kita terlihat.

Ini menciptakan insentif yang salah. Banyak di antara kita mungkin bekerja ekstra lama bukan karena pekerjaan tersebut membutuhkan, tetapi karena kita ingin terlihat "lebih baik" di mata orang lain. Padahal, produktivitas yang nyata tidak selalu diukur dari seberapa lama kita bekerja, tetapi dari seberapa berarti hasil yang kita capai.

Menggugat Bias terhadap Usaha: Menilai Apa yang Benar-benar Penting

Jadi, bagaimana kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap kerja dan usaha? Pertama-tama, kita harus menyadari bias kita terhadap usaha. Kita perlu menggeser fokus kita dari "berapa banyak usaha yang dihabiskan" ke "seberapa bermakna hasil yang diperoleh." Daripada menghargai mereka yang mengorbankan waktu dan energi secara berlebihan, kita harus belajar untuk menghargai mereka yang dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar bernilai.

Ini bukan berarti kita tidak menghargai kerja keras. Tetapi, kita perlu mempertimbangkan apakah kerja keras itu benar-benar berkontribusi terhadap sesuatu yang penting. Mengapa kita sering kali lebih menghargai mereka yang lembur hingga larut malam daripada mereka yang mampu menyelesaikan pekerjaan dengan efisien pada jam kerja normal?

Menuju Budaya Kerja yang Lebih Bermakna

Pada akhirnya, budaya yang terlalu menekankan usaha tanpa memperhatikan makna bisa menjadi kontraproduktif. Sebuah kisah dari sejarah kolonial di India mengilustrasikan hal ini dengan baik. Saat itu, pemerintah kolonial Inggris menawarkan hadiah bagi setiap kulit kobra yang diserahkan, berharap bisa mengurangi populasi ular. Namun, alih-alih berkurang, banyak penduduk lokal justru mulai beternak kobra demi mendapatkan hadiah. Insentif yang salah mengarah pada hasil yang berlawanan.

Kita mungkin menghadapi situasi serupa dalam dunia kerja saat ini. Jika kita hanya fokus pada penampilan usaha tanpa mempertimbangkan maknanya, kita bisa terjebak dalam siklus kerja yang tidak efektif dan merugikan. Kita perlu bertanya kepada diri sendiri, "Apakah ini benar-benar berarti?" Hanya dengan begitu kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik di mana usaha dihargai bukan hanya karena jumlahnya, tetapi juga karena kualitas dan maknanya.

Sebagai penutup, mari kita mulai melihat kerja keras dari perspektif yang lebih bijaksana. Usaha tentu penting, tetapi tujuan yang lebih besar adalah apa yang sebenarnya dihasilkan dari usaha tersebut. Dengan menyeimbangkan antara kerja keras dan hasil yang bermakna, kita bisa membangun budaya kerja yang lebih sehat dan produktif.

Mari kita ciptakan perubahan ini bersama, mulai dari diri kita sendiri, agar dunia kerja di masa depan lebih menghargai kontribusi yang nyata daripada sekadar penampilan usaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun