Mohon tunggu...
Deni Lorenza
Deni Lorenza Mohon Tunggu... Lainnya - penulis

Seorang penulis berdedikasi yang mengeksplorasi pengembangan diri dan perubahan hidup melalui tulisan yang inspiratif dan berbasis penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Kita Menganggap Usaha sebagai Hal yang Bermoral

4 September 2024   09:31 Diperbarui: 4 September 2024   09:36 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini menciptakan insentif yang salah. Banyak di antara kita mungkin bekerja ekstra lama bukan karena pekerjaan tersebut membutuhkan, tetapi karena kita ingin terlihat "lebih baik" di mata orang lain. Padahal, produktivitas yang nyata tidak selalu diukur dari seberapa lama kita bekerja, tetapi dari seberapa berarti hasil yang kita capai.

Menggugat Bias terhadap Usaha: Menilai Apa yang Benar-benar Penting

Jadi, bagaimana kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap kerja dan usaha? Pertama-tama, kita harus menyadari bias kita terhadap usaha. Kita perlu menggeser fokus kita dari "berapa banyak usaha yang dihabiskan" ke "seberapa bermakna hasil yang diperoleh." Daripada menghargai mereka yang mengorbankan waktu dan energi secara berlebihan, kita harus belajar untuk menghargai mereka yang dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar bernilai.

Ini bukan berarti kita tidak menghargai kerja keras. Tetapi, kita perlu mempertimbangkan apakah kerja keras itu benar-benar berkontribusi terhadap sesuatu yang penting. Mengapa kita sering kali lebih menghargai mereka yang lembur hingga larut malam daripada mereka yang mampu menyelesaikan pekerjaan dengan efisien pada jam kerja normal?

Menuju Budaya Kerja yang Lebih Bermakna

Pada akhirnya, budaya yang terlalu menekankan usaha tanpa memperhatikan makna bisa menjadi kontraproduktif. Sebuah kisah dari sejarah kolonial di India mengilustrasikan hal ini dengan baik. Saat itu, pemerintah kolonial Inggris menawarkan hadiah bagi setiap kulit kobra yang diserahkan, berharap bisa mengurangi populasi ular. Namun, alih-alih berkurang, banyak penduduk lokal justru mulai beternak kobra demi mendapatkan hadiah. Insentif yang salah mengarah pada hasil yang berlawanan.

Kita mungkin menghadapi situasi serupa dalam dunia kerja saat ini. Jika kita hanya fokus pada penampilan usaha tanpa mempertimbangkan maknanya, kita bisa terjebak dalam siklus kerja yang tidak efektif dan merugikan. Kita perlu bertanya kepada diri sendiri, "Apakah ini benar-benar berarti?" Hanya dengan begitu kita bisa menciptakan dunia yang lebih baik di mana usaha dihargai bukan hanya karena jumlahnya, tetapi juga karena kualitas dan maknanya.

Sebagai penutup, mari kita mulai melihat kerja keras dari perspektif yang lebih bijaksana. Usaha tentu penting, tetapi tujuan yang lebih besar adalah apa yang sebenarnya dihasilkan dari usaha tersebut. Dengan menyeimbangkan antara kerja keras dan hasil yang bermakna, kita bisa membangun budaya kerja yang lebih sehat dan produktif.

Mari kita ciptakan perubahan ini bersama, mulai dari diri kita sendiri, agar dunia kerja di masa depan lebih menghargai kontribusi yang nyata daripada sekadar penampilan usaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun