"Oke."
Sore yang syahdu. Selepas hujan. Nuansa tempat makannya Jawa sekali. Menu dihadapanku sepiring singkong kukus dan secangkir kopi tubruk kesukaan bapak.
Ya, ini adalah menu kesukaan bapak. Pagi dan sore teman ngopi bapak adalah singkong kukus. Tidak pernah yang lain. Singkongnya harus yang merekah pula. Kalau singkongnya mbagel*, bapak akan misu-misu*.
"Tiap hari beli singkong kok ndak bisa membedakan mana yang empuk dan mana yang tidak?"
Meski kesal sudah capek-capek membeli dan mengukus singkongnya tetap saja dimarahi, tapi ucapan bapak benar juga. Aku yang ditugaskan membeli singkong tidak terlalu memperhatikan tekstur singkong yang empuk dan tidak.
Pokoknya ada singkong langsung beli saja. Setelah bapak marah-marah aku mulai memperhatikan dan jadi hapal jenis singkong yang empuk dan merekah saat dikukus.
"Kenapa suka sekali singkong kukus sih, Pak? Memangnya enggak bosan tiap hari makan singkong?" tanyaku suatu hari saat menemani bapak ngopi di beranda depan. Sore selepas hujan.Â
Bapak terlihat menyeruput kopinya. Kemudian mengambil sepotong singkong lalu mengunyahnya perlahan.
"Kamu tahu? Singkong seperti ini merupakan makanan mewah zaman bapak kecil dulu. Zaman kondisi susah. Orang-orang cuma bisa makan tiwul dan gaplek. Bapak masih bisa makan singkong. Roti sumbu nama lainnya."
"Kalau ngomong bosan? Ya sudah sejak dulu. Wong dulu tiap hari makanan pokoknya singkong. Beras mahal. Beras dikuasai penjajah dan orang-orang kaya. Makanya bapak dendam. Bapak harus sukses dan jadi orang kaya juga agar anak cucu bisa makan nasi. Jangan seperti bapak dulu."
"Kalau sekarang singkong hanya untuk teman ngopi. Itu pun paling berapa lama sih? Umur bapak sudah berapa tinggal berapa? Bapak menikmati singkong kukus ini untuk mengenang zaman susah dulu."