KABARET. Istilah yang tak asing didengar. Melansir dari Wikipedia Indonesia, kabaret merupakan pertunjukan seni di mana didalamnya ada musik, komedi, dan tari-tarian.
Adapun Kabaret Ketapels adalah kumpulan teman-teman Ketapels yang bermain kabaret. Istilah ini muncul secara spontan karena keikutsertaan Ketapels dalam Festival Literasi Jakarta.Â
Sebuah event besar yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DISPUSIP) Jakarta dalam menyambut Hari Aksara Internasional pada bulan September mendatang.
Ketapels dalam pengisian form seleksi komunitas yang ingin mengikuti event tersebut menyodorkan Kabaret sebagai performa yang akan ditampilkan.Â
Puji syukur Ketapels lolos seleksi dan menjadi salah satu komunitas yang akan mengisi Festival Literasi Jakarta. Untuk itu mulailah Ketapels mempersiapkan para pemain kabaret yang bersedia tampil.
Kami para pemain inti mulai berlatih memerankan karakter masing-masing. Ada Dayang Sumbi, Sangkuriang, Kakek Sakti, Si Tumang, Gadis Biasa yang Genit, dan Biduanita.Â
Peran tersebut berdasarkan lakon yang akan ditampilkan, yakni Bukan Sangkuriang Biasa. Sebuah kabaret yang mengadaptasi dari legenda Tangkuban Perahu dari Jawa Barat.
Di mana menurut legenda. Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, Tangkuban Perahu terjadi akibat pertikaian ibu dan anak. Yaitu Dayang Sumbi dan Sangkuriang.Â
Dayang Sumbi seorang perempuan yang cantik dan awet ayu. Memiliki seorang anak bernama Sangkuriang. Karena kesalahan si anak, Dayang Sumbi memukul Sangkuriang sampai dia ketakutan dan lari ke tengah hutan.Â
Sangkuriang menghilang untuk akhirnya kembali lagi setelah beranjak dewasa. Dari sini konflik antara Dayang Sumbi dan Sangkuriang kembali terjadi.
Sangkuriang jatuh cinta pada Dayang Sumbi saat melihat kecantikan wajahnya. Begitu juga dengan Dayang Sumbi. Jatuh cinta pada Sangkuriang yang gagah nan rupawan.Â
Jelas saja. Ayah Sangkuriang titisan dewa. Dayang Sumbi seorang putri kerajaan. Kloplah. Yang perempuan cantik dan yang laki-laki ganteng. Urusan rasa pun sudah klik istilah sekarang.
Oleh sebab luka di kepala Sangkuriang, Dayang Sumbi disadarkan bahwa ternyata laki-laki yang menyukai dirinya tersebut adalah anak kandungnya sendiri.
Maka dengan segala upaya ia menolak ajakan Sangkuriang untuk menikah. Sampai akhirnya tercetuslah sebuah kesepakatan. Sangkuriang diminta untuk membuat danau berserta perahu sampan dalam waktu satu malam.Â
Karena Sangkuriang sudah sakti', ia sanggupi permohonan tersebut. Hasilnya? Dayang Sumbi berbuat curang. Ia lakukan segala cara agar tugas Sangkuriang gagal. Dan memang gagal total.Â
Sangkuriang marah dan menendang perahu yang dibuatnya begitu mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh Dayang Sumbi. Konon perahu yang ditendang Sangkuriang menjadi kawasan yang sekarang dikenal dengan nama Tangkuban Parahu.Â
Itulah sekilas gambaran tentang legenda Tangkuban Perahu. Lalu bagaimana dengan kabaret Bukan Sangkuriang Biasa. Tidak jauh berbeda. Hanya saja syarat yang diajukan bukan membuat danau. Karena parodi tentu sesuatu yang lucu dan kekinian. Apakah itu? Nantikan kisahnya ya? Menarik bukan?
Kabaret tersebut disutradarai oleh Iswadi Suhari. Kompasianer yang juga anggota Ketapels. Kang Didi (begitu saya memanggilnya) yang memperkenalkan kabaret berdasarkan cerita rakyat.
Seru, dan pastinya lucu. Itu yang membuat kabaret yang disutradarainya terlihat menarik. Tak hanya ditonton tapi juga untuk dilakoni sendiri oleh kita yang memang senang dengan cerita rakyat. Senang dengan parodi.Â
Maka begitulah. Bertempat di O2 Corner, Co- Working Space, area Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta Barat. Tim kabaret Ketapels berlatih dan mengadakan diskusi terkait pementasan nantinya.
Ternyata tak mudah melakoni seni peran. Butuh konsentrasi dan penjiwaan. Latihan yang berlangsung selama 4 jam tersebut awalnya terlihat kaku. Namun setelah beberapa kali pengulangan adegan, para pemain mulai terlihat nyaman dan tidak kaku lagi.Â
Totalitas dalam menjalani peran masing-masing mulai terlihat hasilnya. Meski masih ada kekurangan sedikit sih.
"Ekspresinya manaaaaa!!!"
Ya, ekspresi para pemain belum menyatu dengan dialog. Waktu berlatih selama 4 jam ternyata kurang nih.Â
Berhubung hari sudah sore, maka latihan dilanjutkan di rumah masing-masing. Artinya dalami lagi karakter masing-masing. Untuk selanjutnya pada sesi latihan berikut sudah tidak kaku lagi.Â
Tak apa. Namanya proses kreativitas. Ada saja godaan dan tantangan yang dihadapi. Semoga ke depannya bisa lebih lepas dan tak malu-malu lagi, justru malu-maluin. (EP)Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI