Minum jamu, terutama jamu tradisional bukan hal baru bagi saya. Jamu yang diracik dan digodok sendiri oleh tangan terampil ibu. Disajikan dalam kondisi hangat untuk diminum setiap pagi sebelum sarapan.
Jamu yang sering diracik sendiri oleh ibu adalah jamu kunyit asem dan pahitan. Saya kecil hanya memperhatikan saja. Tidak diharuskan meminum jamu tersebut. Barulah ketika memasuki usia ABG, ibu mewajibkan saya untuk minum jamu kunyit asem. Sesekali jamu pahitan juga.
"Biar sehat dan segar. Enggak gampang sakit," ujar ibu.
Enggak gampang sakit. Kata-kata itulah yang membuat saya mau minum jamu sampai sekarang. Terutama jamu kunyit asem. Jamu lainnya juga saya suka. Seperti jamu beras kencur dan jamu pahitan brotowali.
Bagi saya jamu kunyit asem buatan ibu terasa berbeda dari jamu yang dijual oleh tukang jamu keliling. Kata ibu sih resep dari nenek. Turun temurunlah. Zaman ibu ABG oleh nenek juga mulai diharuskan meminum jamu.
Jadi sejak zaman leluhur dulu seperti itu tradisinya. Anak perempuan yang beranjak besar diwajibkan minum jamu. Saya termasuk yang terkena tradisi tersebut.Â
Semenjak ibu tiada selesai sudah tradisi tersebut. Adik saya tidak termasuk yang terkena keharusan meminum jamu.
Saya pribadi pada dasarnya memang senang minum jamu. Meski ibu telah tiada saya tetap meneruskan tradisi tersebut. Bedanya jamu kunyit asem yang sekarang saya minum dari tukang jamu langganan. Kalau dulu kan buatan ibu sendiri.
Melansir dari suara.com, ternyata manfaat kunyit asem tuh banyak sekali.
-Membantu mengatasi keputihan.
-Melancarkan datang bulan.
-Sarana detoksifikasi tubuh.
-Mengatasi perut kembung.
-Mencegah penuaan dini.
-Mencegah bau badan tak sedap.
-Menyegarkan dan menyehatkan kulit.
Wah, pantas dulu ibu mengharuskan saya minum jamu kunyit asem. Ternyata memang banyak manfaatnya. Terutama bagi perempuan.Â
Bagaimana dengan jamu kekinian yang sedang marak sekarang ini? Karena pada dasarnya saya penyuka jamu, jadi senang-senang saja mencicipi jamu kekinian yang ada campuran soda dan sebagainya.Â
Rasanya pun tergolong enak. Tidak menghilangkan rasa jamunya. Meski demikian pilihan saya tetap pada jamu tradisional yang diracik dan digodok oleh pembuatnya, tanpa campuran lain.Â
Mungkin karena sejak kecil jamu semacam itu yang saya minum. Selain itu kalau minum jamu di tukang jamu langganan, saya bisa minta tambahan rebusan daun sirih dan jamu pahitan.
Untuk penawar rasa pahit jamu godokan biasanya diberi segelas wedang jahe atau wedang jeruk nipis. Wah, pokoknya mantaplah. Itulah sensasi jamu tradisional dibandingkan jamu kekinian.
Semua kembali keselera masing-masing. Sih. Jadi? Sudahkah Anda minum jamu kunyit asem hari ini? (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H