Mba Asma Nadia dalam berbagai kesempatan mengisi acara kepenulisan, selalu  menyerukan untuk menulis bukulah, setidaknya satu buku sebelum mati.
Kang Didi yang sudah memiliki buku solo menggunakan motivasi tersebut untuk dirinya sendiri, dengan mengubah kalimatnya menjadi satu novel sebelum mati. Hal inilah yang melecut semangat kang Didi untuk membuat novel.
Sebelumnya sih kang Didi sudah menulis beberapa cerita fiksi di Kompasiana. Beberapa tulisan fiksi itulah yang sebagian dijadikan bahan dalam membuat novel Cintaku Setengah Agama. Tak hanya itu saja, Kang Didi juga menulis di beberapa media cetak nasional.
Baginya menulis adalah mengabadikan sejarah dan mengabadikan diri. Dari salah satu hadist pula judul novel Cintaku Setengah Agama tercetus.
Bagi seorang muslim, menikah bagian dari ibadah.Â
Ganjarannya setengah dari agama sudah digenggaman. Itulah kenapa menikah bagi seorang muslim harus disegerakan, begitu sudah siap lahir dan batinnya.
Setelah judul novel sudah ada dalam bayangan. Selanjutnya mengumpulkan kenangan dan pengalaman yang didapat serta peristiwa-peristiwa disekitar sebagai materi dari isi novelnya kelak.
Terlihat mudah dan mengalir begitu saja. Namun dalam perjalanan menulis novel tersebut, kang Didi ternyata sempat kehilangan motivasi dan semangat. Ditambah benturan waktu antara pekerjaan dan kuliah.
Waktu itu kang Didi sedang menyelesaikan program doktornya. Ia bahkan butuh motivator untuk bisa membangkitkan gairah dan semangatnya dalam menyelesaikan novel Cintaku Setengah Agama.
Pada akhirnya memang harus ada yang dipilih dan diprioritaskan untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Agar bisa menghasilkan sesuatu dengan hasil maksimal juga. Kang Didi demi menyelesaikan novel Cintaku Setengah Agama akhirnya memutuskan untuk mengesampingkan program doktor yang sedang dilakoninya.
Mungkin bagi sebagian orang disebut gila dan nekad. Tapi itulah kisah tak terduga dibalik novel Cintaku Setengah Agama. Yang hasilnya memang cukup diperhitungkan sebagai novelis pemula.
Novel tersebut nangkring di toko buku ternama. Si penulis juga mendapatkan penghargaan sebagai individu yang mampu menyumbangkan 1.000 bukunya (dalam hal ini novel Cintaku Setengah Agama) kepada TBM di seluruh Indonesia.
Tak hanya itu saja. Ternyata ada yang menggunakan novel Cintaku Setengah Agama sebagai bahan skripsinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa isi dan pesan dalam novel tersebut tidak kaleng-kaleng kalau istilah anak jaman sekarang.
Kesimpulan yang didapat dari obrolan santai dengan sang penulis adalah bahwa menulis, menulis saja. Jangan takut dibilang jelek atau apalah. Menulislah yang baik dan tulislah hal-hal baik. Bisa jadi tulisan yang kita anggap jelek justru sangat bermanfaat bagi orang lain.