Bicara kain dan kebaya, saya kecil sudah senang dengan busana tersebut. Momen yang paling saya tunggu sejak sekolah dasar adalah hari Kartini. Sebab hari itu seluruh siswa-siswi diharuskan mengenakan busana tradisional.
Saya sebagai anak dari keluarga Jawa tentu saja mengenakan kain dan kebaya. Kalau dulu ditambah sanggul. Duh, rasanya paling anggun dan njawani sekali kalau sudah berbusana demikian. Sebab kain dan kebaya memang identik dengan masyarakat Jawa.
Demikian pemikiran saya kala itu. Baik itu dilingkungan keraton maupun masyarakat biasa. Busana yang dikenakan tidak jauh dari kain dan kebaya.
Seiring berjalannya waktu, saya pribadi merasa nyaman mengenakan kain dan kebaya dalam berbagai kesempatan. Artinya begitu beraktivitas di luar rumah, busana kebesaran saya adalah kain dan kebaya. Kalau dulu kan hanya di momen tertentu.
Seperti menghadiri undangan pernikahan. Menjadi panitia pernikahan dan semacam itu. Kini sudah tidak seperti itu lagi. Hampir sebagian besar koleksi busana saya terdiri dari kain dan kebaya.
"Apa tidak ribet?"
Pertanyaan yang kerap terlontar dari kawan dan kerabat. Ribet sih tidak. Karena sudah terbiasa. Selain sejak kecil saya sudah senang mengenakan kain dan kebaya. Sejak tahun 2004 saya sudah membiasakan diri berkain dan kebaya untuk aktivitas sehari-hari.
Jadi sebelum bertemu dengan teman-teman komunitas perempuan berkebaya, saya sudah terbiasa berkain dan kebaya. Rasanya jadi tidak sendirian.
"Oh, ternyata banyak juga yang senang berkain dan kebaya."
Kalau kemudian ada wacana untuk mengajukan ke UNESCO, kebaya sebagai warisan budaya tak benda. Saya sih setuju dan mendukung sekali. Karena memang menilikIndonesia zaman dulu busana sehari-harinya adalah kain dan kebaya.
dari sejarah, masyarakatSetelah kedatangan bangsa-bangsa asing barulah perlahan mengikuti mode busana yang mereka kenakan. Jadi tak masalah jika ingin diajukan ke UNESCO. Yang penting bisa konsisten menjaga dan melestarikannya.