Saat mudik ke Lampung kemarin, saya mengunjungi semua sanak saudara yang berada di sana. Biasanya hanya salah satu saudara saja. Sebab tempat tinggal saudara yang satu dengan lainnya berbeda tempat.
Ada yang di Bandar Lampung. Ada yang di Metro dan ada yang di Sribawono. Sedangkan jarak tempuh dari satu tempat ke tempat lainnya puluhan kilometer. Â Dengan rute perjalanan sejauh itu jika tidak membawa kendaraan sendiri tentu sangat repot.
Oleh karenanya saya mengendarai motor saja dari rumah di Tangerang menuju Lampung. Jadi bisa mengunjungi semua dan tidak pusing memikirkan kendaraan. Selain itu bisa mengatur waktu kapan berangkat dan pulangnya.
Risikonya? Harus siap kehujanan dan melintasi hutan karet. Serta melalui daerah-daerah yang disebut rawan begal. Duh, hal tersebut cukup menyiutkan nyali saya nih. Tapi atas nama niat baik. Dengan tujuan silaturahmi. Maka saya putuskan untuk tetap pergi mengunjung saudara yang lain.
Jika tidak nekad maka tidak akan bertemu-temu dengan saudara yang lain. Apalagi mereka sudah sepuh. Jika diajak perjalanan jauh untuk menemui saya tentu kasihan. Sementara saudara yang saya tuju tidak berani mengantarkan. Alasannya karena daerah yang dilintasi rawan begal.
"Pakai saja mobilnya kalau ada yang bisa nyetir. Terus terang aku enggak berani melintas di sana."
Masalahnya saya tidak bisa menyetir mobil. Jadi ya sudah. Motoran saja. Maka dimulailah petualangan lain setelah melaju dari Tangerang ke Bandar Lampung. Yaitu dari Bandar Lampung menuju Sribawono. Sribawono-Metro.
Jarak tempuh dari Bandar Lampung menuju Sribawono sekitar 65 km. Masuk dari PJR melintasi jalan Ir. Sutami sebenarnya lurus saja sampai ke Simpang Sribawono. Masalahnya sepanjang jalan yang dilalui akan melintasi hutan karet dan kebun jagung.
Inilah yang dikhawatirkan. Kalau hujan akan berteduh di mana? Kalau pecah ban atau bocor sulit mencari tukang tambal ban. Jadi memang harus benar-benar dipersiapkan kondisi kendaraan yang akan dibawa.Â
Saya sih sejak sebelum berangkat ke Lampung sudah membawa si Betty (nama motor saya) ke bengkel. Sudah memperhitungkan segala sesuatu. Ketika dikatakan bahwa tempat yang akan saya tuju cukup jauh dan rawan. Insya Allah saya sudah siap.Â
Maka begitulah, dengan kecepatan 60-70 km/jam. Saya mengendarai sepeda motor dengan konsentrasi penuh. Agar tidak kesorean di jalan. Sebab star dari Bandar Lampung sudah pukul 12.00 siang.
Hari kedua lebaran jalur PJR-Simpang Sribawono tidak terlalu ramai oleh kendaraan roda empat. Hanya kendaraan roda dua yang banyak dijumpai. Itu pun jaraknya berjauhan. Meliuk-liuk di jalan aspal menghindari jalan berlubang atau aspal yang tak rata. Rasanya cukup menegangkan. Khawatir terjatuh atau slip.
Tapi begitu  melintasi hutan karet. Wah, ada rasa yang tak terucap. Seperti membelah hutan menembus awan. Menakjubkan. Ya, saya merasa takjub sendiri. Tak percaya. Saya dan motor yang dikendarai bisa sampai di sini lagi.
Lagi? Ya, tahun 2015 saya pernah mengendarai sepeda motor ke sini. Saat itu kondisi jalannya tak seperti sekarang. Masih rusak parah dan berlubang. Lubangnya besar pula. Mana saat itu usai hujan. Jadi jalanan seperti kubangan kerbau.
Sebelumya, sekitar tahun 1995 saya melintasi hutan karet ini juga. Dan menggunakan sepeda onthel. Dengan demikian jalur ini memiliki kisah tersendiri bagi saya. Tegang, haru dan takjub berbaur jadi satu. Mewarnai cerita mudik saya kali ini. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H