Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kado Puasa untuk Si Bungsu

16 Maret 2022   15:45 Diperbarui: 16 Maret 2022   15:49 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Ramadan sudah di depan mata. Dalam hitungan Minggu, umat muslim di seluruh dunia akan menjalankan ibadah puasa. Sebuah kewajiban yang dilakukan selama bulan Ramadan.

Sewaktu masih kanak-kanak, bulan puasa berarti bulan bertabur hadiah. Sebab semua orang di rumah akan memberikan reward jika kita bisa menyelesaikan puasa satu hari penuh. Terbayang jika kita bisa menyelesaikan puasa selama satu bulan penuh.

Itulah tradisi di rumah dalam menyemangati anak-anak agar lancar puasanya. Setelah besar dan sudah bekerja, gantian  aku yang memberikan reward untuk adik dan keponakan yang mulai belajar puasa. Jika yang lain memberi reward berupa uang. Tidak demikian denganku.

Aku lebih suka memberi barang atau sesuatu yang bermanfaat. Tentu saja sesuai kebutuhannya. Seperti saat memberi reward untuk adik bungsu. Kebetulan jarak antara aku dengan adik yang bungsu cukup jauh. Sekitar 15 tahun. Orang bilang ibuku kebobolan. Jadilah ibu hamil lagi ketika anak-anaknya sudah besar-besar.

Berhubung jaraknya sangat jauh, akhirnya dalam beberapa hal aku ikut mengurus adik bergantian dengan ibu. Sebab usia ibu saat melahirkan adik bungsu termasuk rawan. Pokoknya ketika melahirkan si bungsu cukup seperjuangan. Apalagi si bungsu berjenis kelamin laki-laki. Orang bilang melahirkan anak laki-laki berbeda dengan melahirkan anak perempuan.

Maka begitulah. Ketika si adik bungsu memasuki usia belajar puasa. Aku ikut membimbing dan memberikan reward untuknya. Aku katakan, jika ia berhasil puasa sampai sore dan bisa pol satu bulan penuh. Maka ia boleh belanja apa saja di supermarket. Bebas sesuka hatinya. Tentu saja ia girang sekali. Namanya anak-anak, pilihannya tidak jauh dari makanan.

Seiring berjalannya waktu, aku lupa di usia berapa. Yang jelas ia sudah mulai remaja. Meski sudah tidak mendapatkan reward karena berpuasa sampai pol. Tetap saja aku membelikan sesuatu untuknya saat bulan puasa. Kali ini ia mulai menawar atas apa-apa yang  kuberikan.

"Mba, bolehkah untuk puasa tahun ini aku minta sesuatu yang tidak biasa?"

"Oh, ya? Apaan? Boleh saja. Yang penting puasanya pol," sahutku.

"Wah, makasih ya, Mba. Nanti aku beritahu kalau sudah dekat waktunya," katanya dengan nada girang.

Aku senyum-senyum melihat tingkahnya. Meskipun tidak diminta, aku pasti akan membelikan sesuatu untuknya. Namanya juga lebaran. Untuk adik bungsu pula. Kata ibu, kakak-kakaknya harus mengayomi adiknya. Apalagi si adik bungsu terpaut usianya sangat jauh dari kakak-kakaknya.

Waktu terus bergulir. Tanpa terasa bulan puasa kala itu sudah tinggal menghitung hari.  Ada sebuah peristiwa yang membuatku sempat shock. Bagaimana tidak? Sebab perusahaan tempatku bekerja pailit. Itu artinya aku dan semua karyawan berhenti bekerja.

Ya, Allah. Sebuah cobaan yang saat itu  kurasakan cukup berat sekali. Mau puasa, mau lebaran, kebutuhan banyak. Eh, kok ndilalahnya enggak bekerja lagi. Melamar pekerjaan lagi tidak semudah itu. Kalaupun diterima, mulai aktifnya setelah lebaran. Lha, bagaimana coba? Padahal mencari pekerjaan demi memenuhi kebutuhan bulan puasa dan lebaran.

Aku tidak memberitahu orang tua tentang hal ini. Khawatir mereka kepikiran. Aku hanya bercerita kepada adik yang di bawahku persis. Karena usia kami tidak terpaut jauh, sehingga aku dan adik yang satu ini sudah seperti kawan. Bisa saling membantu dan menjaga rahasia. 

Kebetulan usahanya saat itu membuat kue. Jadi kalau bulan puasa pesanan kue keringnya cukup melimpah. Nah, aku membantunya memasarkan sekaligus sebagai kurir.

Namanya perusahaan pailit, maka uang pesangon yang kuterima tidak banyak. Cukuplah untuk lebaran. Tapi kan aku harus tetap memiliki pemasukan untuk bekal melamar pekerjaan dan lain-lain. Untuk itulah aku membantu usaha kue adik.

Suatu hari sekitar satu Minggu mau lebaran, adik bungsuku menagih janji.

"Mba, beneran aku boleh minta apa saja?" tanyanya.

"Ya, benerlah. Dari dulu juga gitu kan?"

"Iya, tapi kali ini aku kan mintanya beda."

"Memang minta apaan?" tanyaku penasaran.

Tak lama ia menyodorkan sebuah gambar. Semacam iklan, brosur dan sejenis itulah.

"Ini Mba. Aku minta dibelikan sarung ini," ujar adikku.

"Oh, sarung toh. Kirain apaan? Oke? Buat lebarankan?"

"Iya, Mba. Jadi nanti lebaran enggak usah beli sarung baru lagi. Sarung ini aja."

Usai berbincang-bincang, adikku pun berlalu. Aku perhatikan dari belakang, ternyata adikku sudah besar dan tinggi. Tipikal anak-anak sekarang. Cepat besar.

Aku meraih brosur yang tergeletak di meja. Memperhatikan gambar sarung yang adikku inginkan.

"Sarung Al-Hazmi. Sarung Khas Kudus Jawa Tengah. Wah, keren juga pilihan adikku."

Aku segera mencari tahu dan memesan sesuai warna yang diinginkan. Setelah itu tinggal menunggu barang datang. Setelah itu aku sibuk dengan persiapan lebaran. Merapikan rumah, membuat kue dan lain-lain.

Sampai suatu hari saat aku sedang merapikan baju dan perlengkapan salat untuk salat Idul Fitri. Tiba-tiba adikku masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Ia memelukku erat-erat.

"Mba, maafin aku. Aku enggak tahu kalau Mba sudah enggak kerja lagi. Aku baru tahu tadi. Saat tanpa sengaja aku mendengar percakapan ibu ditelpon. Ibu mengabarkan kalau tahun ini tidak bisa mudik. Karena Mba sudah berhenti kerja."

Aku menghela napas. Akhirnya aku memang memberitahu ibu tentang kondisi keuanganku. Karena aku tidak bisa memberikan jatah lebaran seperti biasa. Rupanya adikku sudah mengetahuinya juga.

"Ya, terus apa hubungannya sama kamu?"

"Aku minta maaf karena minta segala macam sama Mba. Minta dibelikan sarung yang terbaik juga. Sedangkan Mba sendiri enggak beli apa-apa. Sekali lagi aku minta maaf ya Mba. Aku janji enggak mau nyusahin Mba lagi."

Aku terharu mendengar penuturan adikku. Sekuat tenaga kutahan bendungan air mata ini jangan sampai jebol.

"Sudah enggak usah terlalu dipikirkan. Nanti juga dapat kerjaan lagi. Doakan Mba ya? Sudah sana bantuin ibu ngantar-ngantar makanan."

Adikku pun berlalu dari kamar. Sepeninggalnya aku langsung merebahkan tubuh ke kasur. Aku menangis. Ini yang kukhawatirkan ketika tidak bekerja atau tidak memiliki pemasukan yang memadai. Aku takut tidak bisa berbagi lagi kepada keluarga dan juga orang lain.

Usai menuntaskan kesedihan. Aku segera beranjak dan mengambil air wudu. Aku ingin salat untuk menumpahkan segalanya. Aku percaya bahwa setelah mendung akan ada pelangi. Apalagi bertepatan dengan bulan Ramadan. Bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Doa kita pasti dikabulkan. Aamiin. (EP)

#kisahramadan

#denikerni

#post606

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun