"Tentu. Dengan senang hati saya akan terima. Itu kue kesukaan saya loh Bu."
Mendengar jawaban saya, si orang tua murid terlihat senang.
"Saya tanya dulu karena takutnya enggak mau. Kan sayang-sayang kalau dibuang. Kalau buah jeruk kan jarang yang tidak suka."
Maka begitulah. Saya dibawakan buah tangan khas Imlek. Kue keranjang dan jeruk ponkam. Serta angpao.
"Titip angpao buat ponakan ibu ya?"
Sekian lama mengajar di rumah mereka. Sedikit banyak kami jadi tahu keluarga masing-masing. Â Apalagi terkadang saya membawa keponakan jika di rumah tidak ada yang menjaga. Jadi saling mengenal satu sama lain.
Adik saya yang suka iri. Bercanda sih.Â
"Gue enggak dapat Mba? Bilang sama Cici kalau gue juga mau angpaonya."
Jadilah setiap Imlek tiba, di rumah saya ada kue keranjang dan jeruk ponkam. Tapi sebelum mengajar mereka, kue keranjang tetap ada di rumah. Karena memang suka semua. Apalagi kalau digoreng dengan balutan telur. Wah, bisa langsung ludes. Kalau diiris begitu saja agak lama habisnya.
Untuk jeruk ponkam justru yang agak jarang tersedia di meja. Karena agak asam. Hanya saya yang suka. Â Setelah tidak mengajar lagi, hubungan kami tetap berjalan baik.. Selum saya pindah rumah. Orang tua murid kerap datang berkunjung.
Namun sejak saya pindah rumah ditambah pandemi. Komunikasi kami hanya virtual. Jadilah saat Imlek seperti sekarang saya ingat mereka. Bukan semata karena kue keranjang dan jeruk ponkamnya.