Saat imlek seperti sekarang ini saya jadi teringat dengan anak murid yang keturunan Cina.
Sebagai seorang guru privat, saya tidak membeda-bedakan dalam mengajar. Siapa yang membutuhkan dan kalau saya waktunya masih cukup, maka akan saya tangani."Ibu masih ada waktu enggak? Bisa ngasih les privat tetangga saya enggak? Tapi orang Cina sih?"
"Memang kenapa kalau orang Cina?" tanya saya.
"Ya enggak apa-apa. Takutnya enggak mau. Soalnya pernah nawarin guru yang lain dan mereka enggak mau."
"Oh, saya sih enggak masalah. Yang penting anaknya cocok sama saya dan saya waktunya cukup."
"Oke kalau begitu. Nanti saya kasih tahun Ncinya. Biar dia yang menelpon ibu langsung."
Begitulah awal saya memiliki murid les privat dari keluarga Cina. Satu anak perempuan kelas tiga SD. Satu lagi kakaknya laki-laki kelas empat SD. Keduanya lemah di matematika.
Setelah berbicara dengan orang tua murid akhirnya saya mengajar mereka berdua. Tiga kali dalam Seminggu saya datang ke rumahnya. Tak terasa empat tahun saya mengajar mereka berdua.Â
Ada banyak kenangan yang saya alami saat saya mengajar mereka. Suka dan duka mewarnai perjalanan saya sebagai guru privat mereka.
Salah satunya ketika tiba perayaan Imlek. Saat ingin memberi sesuatu si orang tua murid selalu bertanya terlebih dulu.
"Ibu suka kue keranjang enggak? Kalau saya kasih ibu mau enggak?"
"Tentu. Dengan senang hati saya akan terima. Itu kue kesukaan saya loh Bu."
Mendengar jawaban saya, si orang tua murid terlihat senang.
"Saya tanya dulu karena takutnya enggak mau. Kan sayang-sayang kalau dibuang. Kalau buah jeruk kan jarang yang tidak suka."
Maka begitulah. Saya dibawakan buah tangan khas Imlek. Kue keranjang dan jeruk ponkam. Serta angpao.
"Titip angpao buat ponakan ibu ya?"
Sekian lama mengajar di rumah mereka. Sedikit banyak kami jadi tahu keluarga masing-masing. Â Apalagi terkadang saya membawa keponakan jika di rumah tidak ada yang menjaga. Jadi saling mengenal satu sama lain.
Adik saya yang suka iri. Bercanda sih.Â
"Gue enggak dapat Mba? Bilang sama Cici kalau gue juga mau angpaonya."
Jadilah setiap Imlek tiba, di rumah saya ada kue keranjang dan jeruk ponkam. Tapi sebelum mengajar mereka, kue keranjang tetap ada di rumah. Karena memang suka semua. Apalagi kalau digoreng dengan balutan telur. Wah, bisa langsung ludes. Kalau diiris begitu saja agak lama habisnya.
Untuk jeruk ponkam justru yang agak jarang tersedia di meja. Karena agak asam. Hanya saya yang suka. Â Setelah tidak mengajar lagi, hubungan kami tetap berjalan baik.. Selum saya pindah rumah. Orang tua murid kerap datang berkunjung.
Namun sejak saya pindah rumah ditambah pandemi. Komunikasi kami hanya virtual. Jadilah saat Imlek seperti sekarang saya ingat mereka. Bukan semata karena kue keranjang dan jeruk ponkamnya.
Melainkan keseruan usai mengajar. Si orang tua murid bercerita tentang keseruan Imlek di keluarga mereka. Si anak murid bercerita tentang banyaknya angpao yang mereka terima.Â
Lucunya lagi. Mereka akan mentraktir saya dari angpao yang didapat. Walau sekadar cokelat sebatang favorit saya. Hasil tanya jawab terlebih dulu sebelum membelinya.
"Ibu suka cokelat enggak? Biasanya cokelat apa yang ibu beli?"
Yang berujung memberi kejutan. Namanya juga anak-anak. Seru dan lucu tingkahnya. Itulah sepenggal kisah saya tentang Imlek dan kenangan mengajar di keluarga Cina.
Selamat Imlek untuk semua yang merayakannya.
Jakarta, 1 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H