Si bungsu lain lagi. Mungkin karena dia laki-laki jadi pilih yang praktis dan simple. Bingung dan malas juga mungkin mencari kado.
"Gue ngasih amplop aja deh. Biar belanja sendiri atau untuk jajan apa kek. Habis gue bingung ngasih apa."
Ya terserah saja sih. Yang penting ikhlas dan tulus. Aku tidak memaksa mereka juga untuk begini dan begitu.
"Terus gue ngasih apaan ya?" kataku bingung sendiri.
"Elo booking restoran aja Mba. Waktu itu Mamak ngeliat iklan di tv. Terus nyeletuk. Suasana restorannya enak. Alami dan asri kayak di desa. Berartikan pengin. Cuma enggak enak mau ngomongnya."
"Memang restoran apa? Di mana?"
Adikku menjelaskan restoran yang dimaksud. Aku iyakan. Meski dalam hati sempat kaget.
"Wuduh, itu kan restoran mahal. Bawa rombongan keluarga bisa puasa nih aku setelahnya."
Tapi demi menyenangkan hati ibu. Akhirnya aku memesan tempat dan beberapa menu utama. Menu lainnya menyusul setelah kita tiba saja.
Pikirku tak apalah mengeluarkan dana lebih untuk ibu. Tak apa kalau mesti puasa jajan untuk diri sendiri. Pokoknya ibu, ibu dan ibu dulu.Â
Toh, ketika kita kecil dulu seorang ibu berkorbannya tidak hitung-hitungan. Bahkan setelah kita dewasa.
Yang dipikiran seorang ibu hanyalah kebahagiaan si anak.Â
Jadi hanya kehilangan rupiah sekian ratus atau sekian juta sekalipun tak perlu risau. Itu tidak seberapa dibanding pengorbananan seorang ibu.