Bicara usia jadi teringat masa-masa menjelang kelulusan Sekolah Dasar era 80-an. Pada saat itu usai melaksanakan ujian sekolah, kami saling bertukar buku diary yang akan diisi dengan biodata masing-masing teman untuk kenang-kenangan.
Isi biodata tersebut selain nama dan alamat kita serta tanggal lahir. Juga berisi cita-cita, hobi, kata-kata mutiara, pesan dan kesan kita terhadap teman tersebut. Untuk bagian cita-cita banyak sekali yang menuliskan keinginan menikah usia 25 tahun.
Dalam bayangan kami saat itu, usia 25 tahun sepertinya usia yang sudah sangat matang untuk menikah dan memulai hidup baru. Dengan pemikiran usia 18 lulus SLTA. Jika melanjutkan kuliah maka sekitar usia 23 lulus dan menjadi sarjana. Kemudian 1-2 tahun bekerja sambil merencanakan pernikahan. Jadi perkiraan usia 25-26 sudah menikah.
Itu pemikiran polos kami yang masih belum mengetahui pernak-pernik kehidupan. Jadi memandang segala sesuatunya secara lurus dan mulus. Meski saat itu saya tidak berencana menikah pada usia 25 tahun. Namun saya punya impian dan cita-cita juga. Yaitu keliling Indonesia dan dunia.
Dalam benak saya usia 25 sudah cukup dewasa,sehingga tidak  akan dilarang  jika ingin melakukan perjalanan seorang diri. Apalagi bagi seorang anak perempuan. Oleh karenanya saya sangat menantikan hari itu. Hari di mana saya berusia 25 tahun.
Namun apa yang menjadi keinginan dan cita-cita kita ternyata tak seindah impian. Banyak hal yang akhirnya membuat kita menjalani kehidupan dengan terpaksa atau dipaksa tanpa bisa menghindar.Â
Hal inilah yang saya alami ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ditingkat akhir bangku SMP saya sudah tidak bisa menentukan keinginan sendiri. Adalah bapak yang mengharuskan saya masuk sekolah kejuruan bagian keuangan. Dengan pertimbangan bisa bekerja di bank.Â
Walaupun dalam hati saya menolak karena bukan bidang yang saya sukai. Namun karena takut dan tahu watak bapak seperti apa. Maka saya tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti semua keinginan dan arahan bapak.Â
Hasilnya? Saya memang sempat berkarir di salah satu bank swasta di daerah Sudirman dan di bank perkreditan rakyat sebelum krisis moneter melanda. Demi berbakti pada orangtua. Demi kebahagiaan orangtua. Menurut saja apa yang menjadi arahan orangtua.Â
Walau tak sejalan dan sesuai kata hati. Saya jalani semua dengan baik. Saya percaya bahwa niat orangtua pasti baik. Bukan untuk menjerumuskan anak. Maka begitulah. Hingga menjelang usia 25 tahun kehidupan saya masih didikte oleh bapak.Â
Pokoknya hidup saya sangat monoton. Mau berontak tapi takut durhaka pada orang tua. Jadi ya sudah jalani saja. Sampai  akhirnya terjadi Krismon sekitar tahun 1997-1998. Bank tempat saya bekerja terkena likuidasi. Saya pun berhenti bekerja di Bank.Â
Setelah mengetahui kondisi ini, bapak tidak banyak berkomentar. Ujungnya mulai menyerahkan keputusan pada saya. Terserah mau bekerja di mana.Â
Wah, bukan main girangnya hati saya. Meski saat itu saya berstatus pengangguran, tapi hati dan pikiran saya mulai berkelana. Intinya saya sudah bisa menentukan langkah sendiri. Mau bagaimana dan menjadi apa.Â
Begitu memasuki usia 25 tahun, saya seperti terlahir kembali. Menjadi diri sendiri dan menjadi pribadi yang mandiri. Keinginan mengunjungi pulau-pulau lain di Indonesia pun mulai terwujud. Saya merasa terlahir kembali ketika memasuki usia 25 tahun. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H