Sejak hijrah dari Surabaya ke Jakarta. Lingkup pergaulan saya lebih banyak dengan masyarakat Betawi, yang merupakan penduduk asli Jakarta. Kebetulan saat itu hanya segelintir warga pendatangnya. Jadi saya benar-benar tinggal di lingkungan yang mayoritas orang Betawi asli.
Awalnya sempat terkaget-kaget dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Juga dengan beberapa kosa kata bahasa Betawi yang artinya berbeda dalam bahasa Jawa. Seperti abang, sebutan untuk kakak laki-laki. Kalau di Jawa saya tahunya abang itu warna merah.Â
Kemudian kebiasaan yang terjadi pada saat menjelang hari Raya Idul Fitri atau lebaran. Orang-orang berbondong-bondong membuat ketupat. Kemudian pada malam takbiran saling mengirimkannya ke sanak saudara dan juga tetangga terdekat. Berupa ketupat lengkap dengan sayur, lauk, uli dan tape ketan.Â
Sewaktu tinggal di Surabaya tidak ada tradisi semacam ini. Membuat dan memasak ketupat baru satu Minggu kemudian yang disebut lebaran ketupat. Nah, barulah semua orang memasak ketupat kemudian saling antar mencicipi ketupat buatan masing-masing.Â
Namun adat dan kebiasaan masyarakat Betawi seperti itu maka saya tinggal mengikuti saja. Yang membuat saya bingung sekaligus senang adalah isi hantaran berupa uli dan tape ketan hitamnya. Semua hantaran yang dikirim ke rumah pasti ada potongan uli yang dibungkus daun serta tape ketan hitam yang dibungkus plastik.Â
Awalnya saya pikir hanya satu atau dua tetangga yang membuat. Ternyata hampir semuanya memang membuat uli dan tape ketan hitam. Keduanya merupakan salah satu makanan khas masyarakat Betawi saat lebaran. Jadi memang sengaja membuat dalam jumlah banyak untuk isian hantaran dan suguhan saat lebaran.
Saya yang kebetulan memang senang dengan uli dan tape ketan hitam tentu merasa kegirangan. Kalau dulu mesti mencari pedagangnya dulu baru bisa makan uli dan tape ketan. Setelah tinggal di Jakarta dan dalam suasana lebaran seperti ini justru kebanjiran uli dan tape ketan hitam.
Bagaimana tidak? Jika setiap tetangga yang mengirim hantaran ketupat lebaran pasti terselip uli dan tape ketan hitamnya. Ternyata seru dan menyenangkan suasana lebaran di lingkungan masyarakat Betawi. Pada saat berlebaran ke rumah tetangga atau teman-teman Betawi, suguhan yang saya cari adalah uli dan tape ketan hitamnya. Karena pasti ada. Seru saja mencicipi keduanya. Sebab setiap rumah pasti berbeda-beda rasa tape ketan hitamnya.
Ada lagi makanan khas Betawi yang saya sukai dan juga saya incar saat berlebaran ke rumah tetangga Betawi. Yaitu manisan buah atep atau kolang-kaling. Manisan buah atep ini selalu tersedia di meja ruang tamu. Biasanya disediakan piring dan sendok kecil untuk tamu yang ingin mencicipi.Â
Berbeda dengan uli dan tape ketan hitam yang disisipkan dalam hantaran yang dikirim. Untuk manisan buah atep tidak seperti itu. Kalau kita ingin mencicipi manisan buah atep maka mesti berkunjung ke rumahnya. Itu pun perlu konfirmasi terlebih dulu.
"Masih ada buah atep enggak di rumah?"
"Masih nih tinggal sedikit. Cukuplah buat Elo mah."
Atau dengan perjanjian terlebih dulu.
"Eh, sisain buah atepnya ya? Gue baru bisa main lebaran ketiga.Â
Seperti itulah salah satu keseruan yang saya alami saat lebaran di lingkungan masyarakat Betawi. Yang kemudian menjadi sesuatu yang saya nanti dan buru tiap kali lebaran tiba. Sampai sekarang. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H