Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Karier Bisa Dikejar, tapi Kematian Tak Bisa Ditawar

22 Maret 2021   06:20 Diperbarui: 22 Maret 2021   06:26 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas menjadi alasan saya ketika memutuskan untuk resign alias mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai guru Taman Kanak-kanak.

Sebuah keputusan yang sangat berat sebenarnya ketika memutuskan untuk resign. Bagaimana tidak? Saya sudah merasa nyaman dengan anak-anak didik dan lingkungan sekolah. Kepala sekolahnya pun sudah percaya dengan kinerja saya. Jadi sekolah dan lingkungannya sudah seperti rumah kedua bagi saya.

Namun takdir mengharuskan saya untuk mengakhiri semua. Saya merasa sedih dan berat sekali saat menulis surat pengunduran diri. Kepala sekolah dan teman-teman guru bergantian memeluk saya begitu mengetahui alasan pengunduran diri tersebut.

"Yang sabar ya, Bu. Semoga ibu senantiasa diberikan kesehatan dan kesabaran," ucap mereka satu per satu sembari mengusap air mata yang menitik.

Mereka sedih. Apalagi saya. Kami harus berpisah karena kondisi. Ya, karena kondisi bapak yang terkena stroke maka saya memutuskan untuk berhenti mengajar. Demi membantu ibu agar tidak terlalu capek mengurus bapak. Sebab stroke kali ini yang terparah. 

Bapak sudah dua kali terkena serangan stroke. Namun masih stroke ringan sehingga bisa pulih. Dokter sudah mewanti-wanti agar dijaga sekali pola makan dan istirahatnya. Jika terkena lagi kemungkinan sudah tidak bisa sembuh. 

Benar saja. Akibat kebandelan bapak yang kerap melanggar aturan yang dibuat. Akhirnya stroke kali ini membuat bapak tergeletak tak berdaya di tempat tidur saja. Ibu dengan sabar dan telaten merawat bapak.

Namun karena karena sendirian mengurus bapak yang seperti itu. Ditambah mengurus rumah dan adik yang masih sekolah. Akhirnya kondisi ibu ikut goyah. Meski ibu tak mengeluh. Dari sorot mata ibu tiap kali saya menciumnya sebelum berangkat mengajar, saya tahu ibu menahan letih. 

Di sekolah saya jadi memikirkan kondisi ibu. Bagaimana kalau ibu ikut ambruk dan jatuh sakit? Siapa yang akan mengurus semuanya? Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya saya pun memutuskan untuk berhenti mengajar.

Awalnya ibu keberangkatan. Apalagi saya adalah tulang punggung keluarga. Setelah saya berikan penjelasan akhirnya ibu bisa memahami.

"Ya, sudah terserah kamu saja," begitu ujar ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun