Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

[Nostalgia] Imlek, Kue Keranjang dan Persahabatan Kita

8 Februari 2021   03:23 Diperbarui: 8 Februari 2021   03:44 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa sebentar lagi perayaan Imlek. Momen penting bagi masyarakat Tionghoa. Ada banyak kekhasan yang bisa kita jumpai dalam perayaan Imlek. Mulai dari warna merah yang mendominasi suasana, pertunjukan barongsai, angpao sampai kue keranjang.

Terkait Imlek, saya memiliki kisah yang bisa membuat baper tiap kali mengingatnya. Bagaimana tidak? Ada kebahagiaan dan kesedihan yang terasakan di hati ini kala mendengar kata Imlek. Tentang kue keranjang dan persahabatan yang tak berujung.

Saat saya masih duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar, saya memiliki seorang teman keturunan Tionghoa. Dia murid baru di kelas kami. Ternyata tempat tinggal kami berdekatan. Hanya beda satu blok saja. Mengetahui hal tersebut saya dan teman baru ini kerap pulang sekolah bareng. Kebetulan jarak dari rumah ke sekolah bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Hampir setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Suatu hari ia ingin main ke rumah saya. Tentu saja saya persilakan dengan senang hati. Orang tua dan adik-adik pun menyambut dengan tangan terbuka. Meski sebagian teman-teman di sekitar rumah ada yang melihat kehadiran si teman ini dengan tatapan aneh.

"Temanmu orang Cina ya?"

Pertanyaan lugu dari salah satu teman. Saya sempat bingung kenapa si teman bertanya seperti itu? Namun saya abaikan dan tidak mempertanyakannya kepada orang tua. Beberapa tahun kemudian baru saya paham kenapa ada pertanyaan seperti itu.

Sebelum tahun 2000 tepatnya ketika masih dalam masa pemerintahanan Presiden Soeharto. Upacara dan perayaan milik orang-orang Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan tertutup. Wajar jika tak banyak yang mengenal masyarakat Tionghoa secara terbuka. 

Namun tidak bagi keluarga kami. Saya sejak kecil sudah familiar dengan masyarakat Tionghoa. Ibu dan bapak memiliki tetangga dekat orang Tionghoa juga. Jadi memang tidak asing terhadap orang-orang Tionghoa. Mungkin karena lingkungan juga. Sebelum hijrah ke Jakarta kami tinggal di Surabaya yang lingkungan sekitarnya kebanyakan orang Tionghoa.

Maka ketika tinggal di Jakarta dan memiliki teman orang Tionghoa, saya biasa saja. Tidak aneh lagi. Tidak seperti teman-teman lain yang kerap memandangi teman Tionghoa dengan tatapan aneh. Mungkin bingung melihat matanya yang sipit sekali dan kulitnya yang bersih putih. Namanya juga anak-anak.

Singkat cerita saya dan teman baru ini semakin akrab. Saya gantian diajak main ke rumahnya. Diperkenalkan kepada orang tua, adik-adik dan om serta tantenya. Saya tidak paham ketika teman baru ini memperkenalkan saya kepada keluarganya dengan bahasa Mandarin. Intinya mereka menyambut saya dengan baik dan ramah juga. 

Sepulang sekolah bergantian saja kami main ke rumah masing-masing. Tak jarang ibu saya membawakan kue atau makanan ketika si teman baru akan pulang. Suatu hari ketika saya main ke rumahnya, ada sekeranjang buah-buahan dan kue aneka macam yang diperuntukkan untuk saya.

"Nanti pulangnya bawa ya? Untuk ibu kamu," kata mamanya teman saya itu. 

"Ini enak loh. Namanya kue keranjang. Kita habis Imlek jadi banyak makanan," kata si teman sambil menunjuk pada kue keranjang yang dia maksud.

Saya hanya iya, iya saja meski kurang paham Imlek itu apa. Setelah tiba di rumah barulah saya tanyakan hal tersebut kepada ibu.

"Kue keranjang itu ya dodol cina kita biasa sebutnya. Oh, mereka udah merayakan Imlek ya? Kapan?" kata ibu balik bertanya.

"Kemarin katanya," sahut saya.

"Oh, gitu. Pantas kamu dibawakan makanan sebanyak ini."

"Memang Imlek apaan sih, Bu?" tanya saya.

"Itu, tahun barunya orang Cina."

Ya, ya, ya. Saya kecil mulai memahami hal tersebut. 

Kue keranjang atau dodol cina pemberian si teman tadi oleh ibu digoreng dengan lapisan telur. Wah, rasanya enak sekali. Manis-manis gurih. Saya suka sekali. Itulah pertama kalinya saya menyukai kue keranjang. Waktu di Surabaya tidak pernah mencicipinya. Karena memang tidak pernah diberi oleh ibu. Mungkin karena saya masih kecil. Iyalah, masih belum genap 5 tahun.

Kue keranjang atau dodol Cina (picture by Wikipedia)
Kue keranjang atau dodol Cina (picture by Wikipedia)
 

Teman saya tertawa geli sampai tinggal garis matanya saja saat saya ceritakan kalau kue keranjangnya saya semua yang makan. Entah apa yang dia ceritakan ulang kepada mamanya. Esoknya saya diberi kue keranjang lagi.

"Iiih, kamu cerita ya sama mama kamu? Aku kan malu. Dikiranya pengin minta lagi," kata saya.

"Enggak apa-apa. Mamaku senang kalau kamu suka. Lagian kue keranjangnya masih ada beberapa kok," ujar si teman.

Sungguh masa kanak-kanak yang indah. Persahabatan yang tulus dari hati. Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Persahabatan kami harus berakhir dengan tragedi. 

Pada hari Minggu sore kala itu, saya sekeluarga baru kembali dari rumah pakde. Kakak bapak yang menyelenggarakan pesta pernikahan putrinya. Saya sekeluarga menginap di sana sejak hari Jumat malam. Pulang sekolah langsung diajak ke sana. Hari Minggu sore baru kembali ke rumah.

Ketika mengendarai becak menuju arah rumah kami, tukang becaknya bercerita kalau kemarin ada kebakaran besar di sini.

"Toko Cici di pinggir jalan itu ludes terbakar. Satu rumah di sebelahnya ikut terbakar juga."

"Hah! Toko yang di blok depan itu pak? Ya, ampun. Itu rumah temannya anak saya, Pak?  Terus pada kemana orangnya, Pak?" tanya ibu.

"Katanya pindah ke rumah saudaranya. Penyebab kebakarannya karena ada kabel yang konslet "

Ibu dan tukang becak terus saja bercerita. Sementara saya yang mendengar percakapan tersebut merasa lemas.

"Ya, Tuhan. Bagaimana nasib teman saya?"

Saya sungguh-sungguh tidak tahu. Sampai detik ini. 

Saya kecil bagaimana ingin mencari tahu? Mendekati rumahnya yang bekas terbakar saja tidak boleh. Dari cerita ibu saya mengetahui kebenaran pastinya. Bahwa memang benar toko mereka terbakar. Tidak ada korban. Penghuninya pindah semua. 

Saya pun kehilangan seorang teman masa kecil. Sahabat yang sedang dekat-dekatnya. Teman bercerita dan bertualang saat pulang sekolah. Darinya saya mengenal sepatah dua patah kata bahasa Mandarin. Ada banyak rencana yang ingin kami lakukan sepulang sekolah. Namun semua hanya tinggal rencana. 

Yang tersisa hanyalah cerita dan kenangan tentang indahnya persahabatan kami. Tentang kue keranjang yang menjadi kesukaan saya. Tentang khayalan saya seandainya kami masih bersama hingga melewati tahun 2002. Yang mana  melalui Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002, Imlek dijadikan hari libur nasional.

Tentu ia akan mengajak saya untuk melihat persiapan Imlek di rumahnya. Menceritakan keingintahuan saya tentang hal-hal yang terkait adat dan budaya Tionghoa.

Imlek mengingatkan saya kepada sosok sahabat masa kecil. Kue keranjang dan persahabatan kami. Semua tersimpan rapi menjadi kenangan yang terindah dalam hidup saya. (EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun