Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Pengalaman Bisnis dengan Teman: Kapok

21 Januari 2021   11:09 Diperbarui: 21 Januari 2021   20:39 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisnis dengan teman? Pikir-pikir dulu deh. Untung kagak, buntung iya. Hubungan pertemanan pun jadi renggang. Setidaknya ini berdasarkan pengalaman pribadi. Kok bisa? Bagaimana ceritanya?

Jadi dulu saya bersama teman masa kecil merintis usaha kafe. Namanya berteman sudah lama dan dekat sekali, obrolan kami tak melulu urusan keluarga, pekerjaan, dan hobi. Melainkan membicarakan masa depan juga. Nah, tercetuslah ide membuka kafe.

Selain untuk investasi bersama di masa depan. Dengan membuka kafe berarti ada tempat untuk kami mengundang teman-teman lain berkumpul. Ada tempat nongkrong lah istilahnya.

Kami pun berembuk membahas segala sesuatunya. Mulai dari mencari tempat yang strategis, konsep kafe yang akan kita buat, modal yang diperlukan dan pembagian tugas. Sebab saya dan teman memiliki pekerjaan tetap juga.

Setelah semuanya matang dibicarakan dan kami pun mendapat tempat yang strategis. Mulailah kami mempersiapkan segala sesuatunya. Membeli barang-barang yang diperlukan. Menyetok bahan-bahan yang akan dijadikan menu di kafe dan sebagainya. 

Dalam perjalanan, si kawan mengajak pacarnya turut serta dalam bisnis ini. Kata si kawan pacarnya ini baru selesai kontrak kerjanya. Jadi sambil menunggu pekerjaan baru biar ikut serta mengurus kafe. Sejujurnya saya kurang setuju, karena jadi mengubah perjanjian kami berdua. Dengan begini si pacar harus terlibat dalam perjanjian dan pembagian tugas.

Setelah berdebat cukup alot akhirnya si pacar bergabung dalam bisnis kami. Dengan pembagian tugas sesuai jadwal kerja kami. Awalnya semua berjalan lancar. Alhamdulillah kafe kami pun cukup ramai didatangi pengunjung. Intinya sudah ada pelanggan tetap. 

Sampai suatu ketika usai libur hari raya. Saya bermaksud merapikan kafe karena berniat membukanya kembali setelah libur cukup lama. Namun alangkah terkejutnya saya sebab pintu kafe tak bisa dibuka. Saya pastikan bahwa saya tak salah membawa kunci. Tapi tetap saja pintunya tak bisa dibuka.

Tentu panik dong yang saya rasakan. Dengan segera saya coba hubungi si kawan yang masih pulang kampung. Namun belum sempat menekan nomor si kawan, penjaga toko di sebelah kafe terlihat datang dan ingin membuka tokonya. Saya segera hampiri dirinya dan menceritakan kesulitan saya membuka pintu kafe.

"Apa? Kafe ini disita sama yang punya? Sebagian barang-barangnya sudah dibawa yang punya juga?!" teriak saya tak percaya.

"Iya, Mbak. Kata yang punya karena tidak bayar-bayar uang sewa. Janji-janji terus tapi sampai batas waktunya malah tak bisa dihubungi," ujar penjaga toko sebelah.

Seketika saya merasa lemas. Pasti ada yang tak beres dengan urusan uang sewa. Dengan cepat saya telepon si kawan.

 "Apa? Lo serahin pacar lo buat ngurus uang sewanya? Sementara lo pulang ke Jawa? Astaga. Enggak salah lagi. Kita ditipunya. Dia bawa kabur uang itu?" teriak saya meradang.

Sebelumnya saya yang terlebih dulu pulang ke kampung halaman untuk berlebaran di sana. Berhubung si kawan yang masih di Jakarta, maka urusan perpanjang sewa tempat ia yang akan urus. Agar setelah saya kembali bisa langsung urus kafe. Kemudian gantian si kawan yang akan pulang kampung. Tapi ternyata begini kejadiannya. Saya sungguh tak percaya.

Saya pun menghubungi pemilik tempat yang kami sewa. Hasilnya? Benar adanya. Tidak ada transaksi pembayaran uang sewa. Bahkan uang sewa sebelumnya ada kekurangan juga. Saya jadi shock dibuatnya. Apalagi ketika si kawan mengabarkan kalau pacarnya tak bisa dihubungi lagi. Nomornya sudah tidak aktif lagi.

Astaga. Uang untuk sewa tempatkan tidak sedikit jumlahnya. Begitu si kawan tiba di Jakarta, kami langsung mendatangi rumah si pacar kawan. Hasilnya? Si pacar sudah tidak tinggal di sana lagi. Dan itu pun bukan rumahnya. Hanya saudara jauh.

Sudah. Fix. Kami kena tipu. Saya ingin melaporkan hal tersebut ke yang berwajib. Tapi kawan saya melarang. Ia akan mengganti uang saya yang terpakai untuk sewa tempat. Tentu saja saya tak mau walau tak ikhlas. 

Adapun untuk kerugian barang-barang kafe coba kami ikhlaskan. Sebab sudah ditarik si pemilik untuk jaminan. Jika kami menginginkan barang-barang tersebut harus membayar sekian juta.

Daripada keluar uang lagi setelah kami ditipu seperti ini. Lebih baik tak usah diambil barang-barangnya. Meski sejujurnya tak ikhlas. Sebab barang-barang tersebut barang-barang pilihan dan sewaktu membelinya dengan penuh harapan serta dengan sepenuh hati. 

Sayang harus berakhir seperti ini. Hubungan kami pun dengan sendirinya agak renggang. Walau si kawan tidak berhubungan lagi dengan pacarnya. Tepat si kawan yang mulai mengambil jarak karena merasa tak enak. Sebab dari awal saya sudah tidak setuju.

Sejak itu merasa kapok jika ingin berbisnis dengan teman. Jadi memang harus pikir-pikir dulu kalau urusan bisnis. Apalagi dengan teman. (EP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun