Bahagia. Apa sih sejatinya bahagia itu? Mengapa begitu banyak orang yang secara materi tak kekurangan sedikit pun, namun merasa tak bahagia dalam hidupnya?
Perceraian yang terjadi. Perselingkuhan yang dilakukan secara terang-terangan atau diam-diam. Memunculkan satu jawaban klise.Â
"Gue enggak bahagia dengan pasangan sekarang."
Anak-anak yang broken home. Mereka yang terjerumus hal-hal tidak baik. Sebagian besar mengatakan tak bahagia di rumah. Oleh karenanya mencari kebahagiaan di luar.
Bahagia. Bahagia yang bagaimana? Kenapa mesti mencari-cari kebahagiaan? Bukankah kebahagiaan itu diciptakan? Bukan dicari.
Setiap kita memiliki definisi masing-masing tentang bahagia. Bagi saya, salah satu hal yang membahagiakan adalah ketika apa yang kita lakukan atau berikan bisa meringankan beban orang lain.
Seperti peristiwa kecil yang pernah saya alami. Â Menurut saya biasa saja. Namun ternyata hal tersebut justru membuat saya terharu dan mengerti, "Oh, seperti ini rasanya bisa berbagi walau sedikit. Bahagia untuknya, bahagia di hati kita."Â
Begini ceritanya. Ketika itu saya dalam perjalanan pulang dari Jakarta menuju Tangerang mengendarai sepeda. Biasalah, bersepeda di hari Minggu pagi ke kota Jakarta. Maklum orang pinggiran. Pinggirannya Jakarta dan pinggirannya Tangerang.Â
Bersama beberapa kawan kami janjian bertemu di Monas. Karena tempat tinggal kami berbeda-beda maka saat berangkat dan pulang sendiri-sendiri. Tidak ada yang berbarengan. Berhubung tempat tinggal saya paling jauh, maka saya putuskan untuk agak sore saja pulangnya. Biar tidak terlalu panas. Saya pun mengunjungi beberapa museum sambil menunggu waktu.
Begitu hari sudah mulai sore dan cuaca tidak terlalu panas. Saya putuskan untuk pulang. Dalam perjalanan itulah saya menjumpai pak tua yang mengayuh sepedanya dengan perlahan dan agak berat. Â
Sebagai sesama pesepeda, begitu mendekat ke arahnya saya sapa pak tua tersebut. Saya tanya tujuannya. Rupanya sama-sama ke arah Tangerang. Hanya saja tujuan pak  tua masih lebih jauh dari saya.
Sambil berbincang, saya perhatikan sepedanya yang ternyata sudah usang. Kerangka sepedanya sebagian berkarat. Pedal sepeda yang dikendarainya sudah oglek. Seperti akan copot saat dikayuh. Pantas laju sepedanya tak enak dipandang mata.Â
Pedal merupakan bagian terpenting dari sepeda. Jika kondisi pedal seperti itu tak diganti, pasti terbentur masalah dana. Sebab meski hanya sebuah sepeda, kalau sudah dibawa ke bengkel pasti membutuhkan dana ekstra.
Saya berpikir keras bagaimana caranya bisa membantu pak tua tersebut. Masalahnya uang di saku tinggal satu lembar lima puluh ribuan dan beberapa uang receh. Cukup atau tidak kalau untuk ganti pedal saja? Saya segera permisi kepada si pak tua untuk melaju duluan.
"Baiklah Pak. Hati-hati di jalan. Saya duluan."
Pak tua tersenyum dan melambaikan tangannya pada saya. Sementara saya kembali mengayuh sepeda sambil mencari-cari bengkel sepeda di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh pak tua.
Beberapa kilometer kemudian akhirnya saya menemukan sebuah bengkel sepeda. Saya segera turun dan menceritakan kondisi sepeda pak tua.
"Oh, kalau cuma ganti pedal saja tak sampai segitu kok."
Wah, leganya perasaan ini. Kemudian saya keluar dari bengkel tersebut dan menuntun sepeda ke arah berlawanan. Artinya mundur beberapa kilometer dari arah bengkel. Tujuannya mencari warung rokok pinggir jalan sambil menunggu pak tua.
Begitu menemukan warung rokok yang dimaksud, saya segera mengarahkan sepeda ini ke sana. Saya membeli dua botol minuman. Kemudian duduk menunggu pak tua.Â
Tak berapa lama saya melihat pak tua mulai mendekat.Â
"Pak, mampir dulu istirahat!" teriak saya begitu pak tua dan sepedanya melintas di depan warung rokok.
"Oh, si eneng masih di sini," sahut pak tua yang agak kaget mendengar panggilan saya.
Pak tua menghentikan laju sepedanya. Saya segera hampiri dan memberi satu botol minuman padanya.
"Ini pak istirahat dulu."
"Terima kasih Neng. Mau lanjut saja pelan-pelan. Masih jauh soalnya. Eneng sudah dekat tempat tinggalnya?"Â tanya pak tua.
"Itu tinggal menyebrang ke sana , Pak!"
"Oh, sudah dekat. Kalau begitu bapak pamit dulu ya? Sampai ketemu lagi."
"Siap Pak. Hati-hati. Semoga lancar sampai tujuan. Oiya, ini tolong diterima ya Pak. Hanya sedikit. Untuk tambahan diperjalanan."
"Wah, ini sudah diberi minuman. Diberi uang juga. Terima kasih banyak ya Neng. Alhamdulillah. Semoga Eneng rezekinya tambah banyak."Â
Aamiin," sahut saya lantang sambil melambai kan tangan kepada pak tua yang kembali mengayuh sepedanya.
Saya perhatikan laju pak tua dengan perasaan haru. Saya pikir sepeda saya saja yang sudah old dan ketinggalan zaman. Ternyata ada yang lebih parah. Sudah usang, rusak pula. Semoga pemberian saya yang tak seberapa itu bermanfaat. Digunakan untuk mengganti pedal sepeda atau tidak terserah saja. Yang penting niat saya membantu. Setidaknya bisa untuk berjaga-jaga kalau ada apa-apa dengan sepedanya. Soalnya perjalanan pak tua masih jauh.
Setelah beberapa saat, saya yang sedari tadi duduk di warung rokok pinggir jalan melanjutkan lagi perjalanan ini. Sudah dekat sih. Seperti yang saya katakan pada pak tua tadi.
Meski sudah tidak memegang uang sama sekali. Namun perasaan ini terasa lega. Bahagia tentunya.Â
Saya mengayuh sepeda sambil berkhayal.Â
"Coba saya punya uang banyak. Pasti bisa menyantuni sana-sini."
Tapi memang benar kok. Bisa berbagi sedikit seperti ini saja sudah senang. Apalagi bisa memberi dan menyantuni dengan lebih banyak lagi. Pasti bahagia sekali. Semoga bisa. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H