Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Guru Kehidupanku

17 November 2020   21:13 Diperbarui: 17 November 2020   21:18 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bapakmu seperti itu karena sedang kerasukan setan. Setan judi. Orang kalau sudah kecanduan judi seperti itu. Jadi kamu jangan heran kalau setiap hari ada yang datang mengambil barang-barang di rumah. Itu artinya sudah dijual oleh bapak karena kalah judi dan tidak punya uang untuk membayarnya."

Aku mendengarkan cerita ibu sambil ingatan ini melayang ke beberapa peristiwa sebelumnya. Bagaimana barang-barang elektronik yang kami miliki satu per satu digotong orang. Mulai dari televisi, kulkas, meja dan kayu jati sampai tempat tidur yang terbuat dari kayu jati. 

"Toh, dulu bapakmu tidak seperti ini. Kamu ingatkan? Bagaimana bapak selalu membelikan jajanan terbaru untukmu. Pokoknya anak lain belum tahu, tapi kamu sudah tahu duluan."

Ya, aku ingat. Dan tidak akan pernah melupakan semua itu. Masa-masa kejayaan bapak. Di mana kami hidup berkecukupan. Bahkan bisa dibilang orang yang cukup berada di kampung tempat tinggal kami. Bagaimana tidak? Kalau setiap sore sebagian besar warga kampung sudah duduk manis di rumah kami. Mereka ingin menonton televisi. Benda yang saat itu masih sangat langka. Hanya segelintir orang yang bisa memiliki televisi.

Melalui televisi aku mengetahui produk-produk makanan terbaru. Tanpa kuminta, bapak membelikannya untukku. Hati siapa yang tak senang? Belum lagi mainan dan perlengkapan sekolah. Bapak membelikan yang terbaik dan paling bagus. 

Semua berubah ketika kawan lama bapak datang bertandang. Sebagai kontraktor sukses banyak orang yang mendekati bapak. Sejauh ini ibu tidak terlalu mempersoalkan juga. Namun saat kawan lama ini datang, ibu kerap mewanti-wanti bapak supaya berhati-hati. 

"Hati-hati Pak ambe de'e. Sampean kan wes tahu cerito ne uwong iki licik. Wes suwe ora ngerti ngon'e moro-moro muncul mesti duwe maksud tertentu. Opo meneh wes ngerti kahanan sampean." (5)

Awalnya nasihat ibu masih didengar oleh bapak. Namun karena kelihaian si kawan tersebut akhirnya bapak terjebak di meja judi. Pekerjaan berantakan. Barang-barang habis terjual. Bahkan uang dan perhiasan ibu juga ludes diminta bapak. 

Ibu tidak marah atau melawan. Diserahkan begitu saja sampai semua benar-benar habis di meja judi. Aku yang geram melihatnya. Rasanya ingin melawan melihat kelakuan bapak. Namun ibu selalu melarang.

"Jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata kasar terhadap bapakmu. Walau bagaimana dia adalah bapakmu. Salah atau benar tetap harus dihormati. Kamu itu anak. Berani melawan adalah kesalahan besar. Meski kamu di posisi yang benar. Ingat kata-kata ibu ini."

"Ibu, kenapa sabar banget sih ngadepin bapak? Uang, perhiasan diminta diam saja. Itu kan milik ibu," protesku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun