"Titip anak-anak dulu ya, Bu? Bapaknya lagi kambuh. Saya coba nenangin sambil nunggu keluarganya datang."
Permohonan salah satu tetangga yang sempat membuat bingung.Â
"Maksudnya kambuh apa?" pikir saya dalam hati.Â
Namun untuk bertanya saat itu tentu tak elok. Biarlah menunggu sampai urusan si tetangga tersebut selesai. Meski di dalam hati penuh tanda tanya.Â
Apalagi begitu mengetahui suami si tetangga tadi berteriak-teriak tak jelas sambil digandeng kanan kirinya menuju mobil yang terparkir di halaman.
"Stress apa gila ya?" tanya saya dalam hati.
Pertanyaan saya terjawab saat si tetangga datang menjemput anak-anaknya.Â
"Maaf ya Bu jadi merepotkan. Suami saya ada gangguan jiwa. Kalau kambuh suka mukul-mukul yang ada didekatnya. Makanya saya titipkan anak-anak. Khawatir jadi sasaran."
"Oh, begitu. Serem juga ya? Kasihan anak-anak. Yang sabar ya, Mba," kata saya memberikan dukungan moril kepada si tetangga yang usianya masih terbilang muda ini.
Tak disangka, perkataan saya justru membuat si tetangga tersebut menangis.
"Duh, maaf ya Mba kalau perkataan saya menyinggung perasaan," kata saya merasa tak enak hati.