Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang "Tradisi Menghantar Rantangan" Saat Hari Raya

29 September 2020   08:10 Diperbarui: 29 September 2020   08:17 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan zaman dan modernisasi membawa perubahan pada setiap sendi kehidupan. Perubahan  positif dan juga perubahan negatif.

Salah satu perubahan yang saya alami dan sangat kentara sekali  adalah tradisi menghantar rantangan saat hari raya. 

Tradisi dan budaya dalam masyarakat yang perlahan namun pasti mulai pudar bahkan hilang sama sekali.

Saya yang sejak kecil tinggal di lingkungan masyarakat Betawi merasakan sekali perubahan tersebut. Hal ini dirasakan dan diakui sendiri oleh sebagian sesepuh masyarakat Betawi. 

Oleh karenanya di salah satu wilayah Jakarta Selatan tradisi semacam ini dijadikan perayaan. Guna mengingatkan generasi muda dan melestarikan budaya Betawi yang hampir punah. Sebab dibeberapa wilayah Jabodetabek masih ada yang melakukan tradisi seperti ini saat lebaran.

Tradisi menghantar rantangan saat hari raya tak hanya dijumpai dalam masyarakat Betawi. Beberapa daerah memiliki tradisi seperti ini juga. Hanya saja berbeda penyebutannya.

Berhubung saya tinggal di lingkungan Betawi, maka tradisi di sini yang saya alami dan rasakan perubahannya dari tahun ke tahun.

Ketika saya kecil, setiap menjelang hari raya pasti sudah sibuk disuruh ibu mengantar rantang berisi makanan ke para tetangga sekitar.

Rantang tersebut ada yang saya tunggu untuk dibawa pulang kembali ada juga yang ditinggal. Tergantung si tuan rumah. 

"Rantangnya ditinggal aje. Nanti dianterin ke rumah Lo Neng."

Begitu kata si tuan rumah. Kalau begini biasanya si tuan rumah sibuk dan banyak hantaran rantangan yang ia terima. Jadi tidak sempat membuka dan mengisi rantang secara langsung.

Tiba di rumah sudah ada beberapa rantang yang harus saya hantarkan lagi. Rantang tetangga yang mengirim hantaran ke rumah

"Loh, rantangnya kok enggak dibawa pulang lagi?" tanya ibu kalau melihat saya pulang dengan lenggang kangkung.

"Disuruh tinggal. Nanti dianterin sendiri," sahut saya. 

"Ya, sudah kamu antar rantang ini ke rumah bu Bambang. Ibu mau ngeluarin rantang lagi."

Begitulah kesibukan saya menjelang hari raya. Mengantar rantang dari satu rumah ke rumah lain. Jika tidak selesai malam itu maka akan dilanjutkan esok harinya sambil berlebaran.

Oleh karenanya ibu memiliki beberapa rantang di rumah. Rantang dengan berbagai susunan. Ada yang dua susun, tiga susun bahkan ada yang sampai lima susun.

Rantang-rantang tersebut digunakan sesuai kebutuhan. Rantang dua susun biasanya hanya berisi tape ketan dan uli. Diberikan kepada tetangga yang tidak terlalu akrab.

Kalau tetangga yang sudah akrab bahkan dituakan. Biasanya menggunakan rantang yang susunannya lebih banyak. Karena isi hantarannya bermacam-macam. 

Tak hanya tape ketan dan uli. Tapi juga berbagai masakan yang dibuat oleh ibu. Makanya ibu saya kalau masak makanan itu banyak sekali. Saya sempat protes karenanya.

"Ngapain sih Bu masak banyak banget. Keluarga kita kan cuma sedikit. Makannya juga enggak banyak."

"Huss. Bocah kecil mah belum ngerti. Ini tuh nanti buat di kasih-kasihkan ke tetangga. Juga buat balikin rantang orang. Emangnya mau dibalikin kosongan gitu? Ya enggak pantas. Biar sedikit harus diisi balik."

"Tapi kenapa harus dikasih semua? Bukannya tetangga yang baik-baik aja sama kita yang dikasih?" protes saya lagi.

"Eh, anak ini protes terus. Kalau sama tetangga yang baik, itu namanya membalas kebaikan mereka. Kalau tetangga yang enggak dekat kok dikasih juga, itu namanya berbagi rezeki. Kita bisa masak banyak seperti ini belum tentu tetangga kita juga sama. Bisa jadi malah ada yang enggak masak apa-apa," jelas ibu panjang lebar.

Jadi seperti itu rupanya. Saya pun jadi bersemangat dalam menghantarkan rantang-rantang tersebut. Meski ada suka dukanya juga.

Sukanya, karena tak jarang tetangga yang diberi hantaran menyelipkan uang ditangan saya. 

"Untuk jajan elo Neng."

Namanya anak kecil tentu senang sekali diberi uang seperti itu. Apalagi suasana lebaran. Biasanya saya dan teman-teman saling pamer. Banyak-banyakan uang lebaran.

Dukanya, kalau isi rantangnya banyak dan rumah yang dituju agak jauh. Jadi capek. Karena isinya berat. Harus jalan kaki pula. Tak boleh dibawa naik sepeda. Khawatir jatuh kata ibu. Sampai ditujuan si tuan rumah tak memberi uang. 

Biasanya saya mengadukan hal tersebut pada  ke ibu. Namanya juga anak-anak. Setelah itu ibu yang memberi uang sebagai upah jalan. 

Begitu acara antar mengantar rantangnya selesai. Keseruan berikutnya adalah melihat menu yang dihantarkan ke rumah kita. Namanya lebaran menunya hampir sama semua. Tak jauh dari ketupat, opor dan sayur lodeh pepaya.

Namun ada menu yang selalu saya cari. Yaitu semur daging kerbau. Biasanya masyarakat Betawi ada yang membuat semur daging kerbau. Khusus untuk hari raya. Tapi tidak semua orang Betawi membuat semur ini. Oleh karenanya jadi menu langka. Sudah jarang ditemui.

Kemudian manisan buah atep atau kolang-kaling. Karena saya suka dan ibu tidak pernah membuatnya. 

"Udah enggak sempat bikinnya. Nanti aja minta sama Mpok sebelah," ujar ibu.

Makanya saya senang sekali kalau ada manisan buah atep di antara hantaran yang dikirim ke rumah.

Sungguh kenangan masa kecil yang tak akan terlupakan. Tradisi seperti itu terus berlanjut sampai saya besar. Hanya saja mulai berbeda nuansanya 

Jika dulu setiap mengantar rantangan berharap mendapatkan upah jalan. Setelah besar tentu malu jika menerima uang seperti itu lagi. Kalau masih ada yang memberi, biasanya dengan malu-malu saya menerimanya. Walau dalam hati mau. Siapa sih yang tidak senang diberi uang?

Namun ada semangat lain yang tak kalah serunya. Yaitu ngecengin anak si tuan rumah. Apa ya bahasa Indonesianya ngecengin? Pokoknya bisa melihat anak si tuan rumah yang cakep sudah membuat hati senang. Bisa untuk bahan cerita ke teman-teman. Namanya juga ABG. 

Lucunya, ada juga yang bertemu jodoh gara-gara tradisi semacam ini. Biasanya si anak yang suka terlebih dulu. Atau ada orangtuanya yang sreg melihat si anak.

"Lha, itu tadi anaknya bang Jali ya yang nganter rantang barusan? Udah gede boto juga tuh bocah. Boleh juga tuh buat anak kite. Coba tanyain, udah ada yang main belum."

Begitu cerita yang pernah saya dengar dari ibu. Sayangnya seiring perjalanan waktu. Tradisi semacam ini mulai pudar. Berproses secara perlahan mengikuti arus zaman. 

Mulai dari berubahnya bentuk hantaran yang diberikan. Berkurangnya tetangga yang dikirimi hantaran. Sampai hanya tetangga yang dituakan saja yang dikirimi hantaran.

Bentuk pemberiannya pun mulai berubah. Bukan lagi rantangan berisi makanan. Melainkan bingkisan berupa parsel buah atau sekotak kue-kue menarik dari toko bakery.

Alasan yang dikemukakan pun bermacam-macam. Kenapa sudah tidak ada tradisi rantangan seperti itu lagi?

Zamannya sudah beda. Orang tua yang biasa masak banyak mulai menua dan tak ada anak-anak yang mau meneruskan tradisi masak banyak semacam itu.

"Kayak mau hajatan aja masak segitu banyak. Sekarang mah cari praktisnya aja. Beli buah atau kue aja untuk tentengan." 

Demi kepraktisan. Demikian alasan utamanya. Ditambah dengan makin maraknya layanan antar jemput barang secara online. Sehingga tak perlu repot-repot memasak dan mengantarkan sendiri.

Saya sendiri semenjak ibu tiada sudah tak lagi melakukan tradisi seperti ini. Bahkan beberapa rantang milik ibu sudah dihibahkan. Saya hanya menyimpan satu buah rantang untuk kenang-kenangan. Rantang dua susun.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Kondisi rantang tersebut yang usianya sudah puluhan tahun masih bagus dan layak pakai. Makanya masih saya gunakan untuk membeli makanan matang. Atau Menghantar makanan ke rumah kerabat serta teman dekat.

Melihat dan menggunakan rantang tersebut membuat saya bernostalgia ke masa kecil. Masa-masa yang masih kental dengan tradisi masyarakat setempat. Bagaimana dengan Anda? Masih adakah rantang sejenis di rumah Anda? Atau pernahkah mengalami tradisi semacam ini juga? (EP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun