Roti tawar berlapis cokelat. Menu sarapan yang biasa saja sebenarnya. Tetapi merupakan menu sarapan favorit dan sangat istimewa bagi saya. Sebab ada aura cinta dan kasih sayang yang tak akan pernah hilang untuk dikenang. Cinta dan kasih sayang ibu.
Pagi ini tak seperti biasanya. Sebelum salat subuh aku bergegas menyiapkan menu sarapan pagi berupa roti tawar yang diolesi dengan selai cokelat. Lalu memasukkannya ke dalam kotak makan untuk bekal di jalan. Karena pagi ini aku akan pergi piknik dengan rombongan remaja masjid.
Apalagi aku termasuk dalam jajaran panitia. Jadi sebisa mungkin datang lebih awal. Biasanya aku mulai menyiapkan sarapan antara pukul 7-9 pagi. Tetapi tidak untuk hari ini.Â
"Ya, sudah hati-hati. Banyak berdoa selama diperjalanan. Ibu mau salat di masjid dan mendengar kultum. Jadi pamitannya sekarang saja," ujar ibu.
"Dicek lagi barang-barang yang akan dibawa. Jangan sampai tertinggal," pesan ibu panjang lebar.
"Iya, Bu," sahutku sambil mencium tangan ibu, memeluk dan mengecup kedua pipinya.Â
Setelah itu ibu bergegas menuju masjid di dekat rumah. Diusianya yang sudah kepala enam, ibu terlihat gesit dan alhamdulilah sehat selalu. Mungkin karena ibu juga masih rajin bersepeda ke sana kemari. Belanja sayur atau sekadar berkeliling komplek.
Mengikuti pengajian di beberapa tempat aktifitas ibu sehari-hari. Salat subuh di masjid menjadi rutinitas ibu setelah bapak tiada. Seperti pagi ini. Ibu sudah bergegas ke masjid sebelum aku berangkat.
Usai salat subuh aku bergegas memasukkan barang-barang yang akan kubawa. Kemudian memesan ojek online. Begitu ojek pesanan datang aku pun berangkat menuju titik kumpul di jalan utama. Agak jauh dari komplek perumahan makanya aku memesan ojek online. Jika tidak tentu aku lebih memilih berjalan kaki. Sekalian berolahraga.
Tiba di titik kumpul sebagian peserta sudah ada yang datang. Sementara panitia sudah stand by di posisi masing-masing. Aku segera mengisi buku absen dan mulai mendata peserta yang hadir. Lalu mengarahkan ke posisi tempat duduk yang sudah ditentukan.
Pukul enam tepat jadwal yang sudah ditentukan untuk kita berangkat. Namun, ada saja peserta yang tidak on time. Jadilah kami menunggu salah satu peserta yang kabarnya sedang dalam perjalanan.
Tak berapa lama peserta yang ditunggu tiba.Â
"Maaf, maaf. Tadi pas mau berangkat perut mendadak mules. Jadi ke belakang dulu deh. Makanya jadi terlambat."
Meski ada yang merasa kesal hati karena jadi terlambat berangkat. Pada akhirnya semua memaklumi kondisi ini. Setelah peserta yang terlambat sudah duduk nyaman. Aku kembali mengabsen para peserta. Begitu dirasa lengkap dan tak ada yang tertinggal lagi. Sopir bus dipersilakan untuk berangkat.
Saat bus sedang melaju perlahan tiba-tiba kondektur bus berteriak, "Tunggu! Itu ada yang lari-lari ke arah bus. Mungkin peserta yang ketinggalan juga."
Sontak, kami semua menengok ke arah belakang. Tiba-tiba bahuku ada yang menepuk.
"Kayaknya itu ibu kamu deh, Nay?"
Aku segera menoleh ke belakang. Dan terkejut bukan kepalang. Benar. Itu ibuku sedang berlari-lari mengejar bus sambil melambaikan tangan.
"Berhenti dulu pak sopir! Iya, benar. Itu ibu saya," teriakku.
Dengan tergesa dan jantung yang berdegup keras, aku menuju pintu belakang. Bus berhenti. Pintu belakang dibuka. Aku melompat turun menyambut ibu.
"Ada apa, Bu? Kenapa lari-lari begini?" kataku dengan nada cemas.
"Ini, roti tawarmu ketinggalan. Tadi waktu ibu pulang dari masjid kaget melihat kotak roti tawar yang sudah kamu siapkan sejak bangun tidur tergeletak di meja. Nanti kamu telat sarapan makanya ibu kejar. Ibu tadi naik sepeda dan melihat busnya masih ada. Begitu sudah dekat eh, ban sepedanya bocor. Jadi ibu lari saja. Sepedanya titip sama tukang  rokok di sana" ujar ibu dengan terengah-engah.
"Ya Allah! ibu," kataku dengan mata berkaca-kaca. Kupeluk ibu dengan erat.
Aku tak mampu berkata-kata. Demi anaknya tak telat sarapan. Demi roti tawar kesukaan anaknya, ibu rela lari-lari mengejar bus. Lupa kalau usianya sudah kepala enam. Dan aku bukan anak TK lagi. Perhatian dan kasih sayangnya tidak berubah.
"Terima kasih ya, Bu. Maaf jadi merepotkan ibu akibat terburu-buru," kataku penuh penyesalan.
"Enggak apa-apa. Yang penting rotinya sudah di tanganmu. Sudah sana naik ke bus lagi. Kasihan mereka jadi menunggu," kata ibu.
"Iya, Bu," kataku sambil memeluk ibu sekali lagi dan mencium tangan ibu penuh kasih.
"Ibu hati-hati ya pulangnya? Nanti enggak usah ngapa-ngapain di rumah. Istirahat saja ya, Bu," kataku sebelum kembali naik ke dalam bus.
Aku tak mampu untuk tidak menitikkan air mata saat memegang kotak kue berisi roti tawar berlapis cokelat. Di bangku bus aku duduk sambil sesekali mengusap mataku yang basah.Â
Untuk sejenak suasana di dalam bus terasa hening. Kawan di sebelahku mengusap-usap punggungku tanda ikut terharu.
"Nyokap sayang bener ya sama Lo. Dibelain lari-lari cuma untuk nganter roti tawar ini. Nyokap gue mah boro-boro."
Aku mengangguk sambil tergugu. Peristiwa yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Roti tawar berlapis cokelat yang akan terus menjadi favoritku. Meski kerap membuatku terharu kala memakannya. Tetapi dari situlah aku bisa melukiskan wajah ibu dengan jelas saat rindu melanda. Ibu yang sudah kembali keharibaaan-Nya. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H