Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekotak Roti Tawar Berlapis Cokelat (Tanda Cinta Ibu Sepanjang Masa Selama Hayat di Kandung Badan)

18 Februari 2020   12:39 Diperbarui: 18 Februari 2020   12:57 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto dokpri
Foto dokpri
"Ya Allah! ibu," kataku dengan mata berkaca-kaca. Kupeluk ibu dengan erat.

Aku tak mampu berkata-kata. Demi anaknya tak telat sarapan. Demi roti tawar kesukaan anaknya, ibu rela lari-lari mengejar bus. Lupa kalau usianya sudah kepala enam. Dan aku bukan anak TK lagi. Perhatian dan kasih sayangnya tidak berubah.

"Terima kasih ya, Bu. Maaf jadi merepotkan ibu akibat terburu-buru," kataku penuh penyesalan.

"Enggak apa-apa. Yang penting rotinya sudah di tanganmu. Sudah sana naik ke bus lagi. Kasihan mereka jadi menunggu," kata ibu.

"Iya, Bu," kataku sambil memeluk ibu sekali lagi dan mencium tangan ibu penuh kasih.

"Ibu hati-hati ya pulangnya? Nanti enggak usah ngapa-ngapain di rumah. Istirahat saja ya, Bu," kataku sebelum kembali naik ke dalam bus.

Aku tak mampu untuk tidak menitikkan air mata saat memegang kotak kue berisi roti tawar berlapis cokelat. Di bangku bus aku duduk sambil sesekali mengusap mataku yang basah. 

Untuk sejenak suasana di dalam bus terasa hening. Kawan di sebelahku mengusap-usap punggungku tanda ikut terharu.

"Nyokap sayang bener ya sama Lo. Dibelain lari-lari cuma untuk nganter roti tawar ini. Nyokap gue mah boro-boro."

Aku mengangguk sambil tergugu. Peristiwa yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Roti tawar berlapis cokelat yang akan terus menjadi favoritku. Meski kerap membuatku terharu kala memakannya. Tetapi dari situlah aku bisa melukiskan wajah ibu dengan jelas saat rindu melanda. Ibu yang sudah kembali keharibaaan-Nya. (EP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun