Imlek sudah berlalu. Tepatnya tanggal 25 Januari yang lalu. Tetapi kisah tentang Imlek tak akan berlalu begitu saja. Bagi saya khususnya. Ada sepenggal kisah yang terukir dalam tiap perayaan ImlekÂ
Saya tidak merayakan imlek. Namun merasa senang setiap kali hari raya Imlek tiba. Sebab setiap perayaan Imlek selalu mendapat kiriman makanan dari teman yang merayakan. Salah satunya kue keranjang.
Sejak kecil orang tua tidak melarang saya dalam urusan pergaulan. Termasuk bergaul dengan masyarakat Tionghoa yang saat itu masih belum sebebas sekarang dalam merayakan Imlek.
Orang tua pun cukup dekat dengan tetangga yang keturunan Tionghoa. Sehingga saya tidak asing dengan perayaan Imlek. Kami saling menghantarkan makanan tiap perayaan hari besar masing-masing. Toleransi yang sudah dibangun sejak kecil dalam keluarga kami.
Ketika mendapat kiriman kue keranjang, biasanya ibu mengolahnya menjadi kue keranjang goreng. Ya, kue keranjang tersebut diiris tipis-tipis lalu dicelupkan ke dalam adonan tepung dan digoreng dengan suhu sedang agar tidak gosong. Seperti menggoreng pisang.Â
Kemudian ibu meletakkan dalam piring dan menyuguhkannya untuk saya. Dimakan saat hangat rasanya nikmat sekali. Saya bisa menghabiskan beberapa potong. Dan ibu tahu hal itu. Kalau saya suka dengan kue keranjang goreng.
Sejak itu kue keranjang selalu ada di rumah berbarengan dengan perayaan Imlek. Bahkan sampai beberapa hari kemudian. Sebab ibu bercerita kepada tetangga tersebut kalau saya suka sekali dengan kue keranjang yang digoreng.Â
Sehingga si tetangga tersebut kerap bertanya, "Kue keranjangnya masih ada gak, Bu? Kalau habis nanti saya ambilkan lagi. Di rumah masih ada nih." Begitulah keakraban keluarga kami sebelum tahun 1998.
Ketika kerusuhan Mei 1998 terjadi, tetangga kami tersebut pergi dengan alasan untuk keselamatan keluarga. Ya, kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan rasial terhadap masyarakat Tionghoa. Meski di tempat kami aman, tetapi tetangga tersebut tetap memutuskan pergi.Â
"Titip liatin rumah ya, Bu. Nanti kalau sudah aman kami akan balik."
Saya dan anak perempuan tetangga kami itu berteman baik. Jadi cukup sedih ketika harus berpisah. Ternyata selamanya mereka pergi dan tak kembali. Beberapa bulan setelahnya di rumah tetangga tersebut ada tulisan "dijual."
Kenangan yang tercipta bersama tetangga Tionghoa menjadi bagian hidup tak terlupakan.Â
Ketika tahun 2002 perayaan Imlek diakui pemerintah dan dinyatakan sebagai hari libur nasional. Saya jadi teringat tetangga tersebut. Mungkin akan lain ceritanya jika mereka masih tinggal di sekitar kami.Â
Meski begitu, setiap hari raya Imlek tiba saya selalu menikmati kue keranjang goreng. Ibu yang mengetahui kalau saya suka dengan kue keranjang goreng senantiasa menghadirkan kue tersebut saat Imlek tiba. Bukti cinta ibu terhadap sang anak.Â
Padahal saya tidak pernah  memintanya. Saya jadi terharu. Saya pun menjadi segan untuk bertanya dari mana ibu memperoleh kue keranjang tersebut. Apakah sengaja membelinya untuk saya atau ada kawan ibu yang memberi? Pokoknya dinikmati saja suguhan kue keranjang goreng yang ada di meja.
Tahun 2014 ibu tiada. Kembali kehadapan Sang Pencipta. Tentu saja saya dan kami semua merasa sedih. Kehilangan orang yang paling dicintai.Â
Kenangan bersama ibu dan yang ibu lakukan untuk kami tak akan pernah hilang dari ingatan. Begitu juga saat perayaan Imlek seperti sekarang ini. Ketika tetangga sebelah mengirimi kue keranjang goreng. Saya jadi teringat ibu.Â
Kue keranjang selalu ada. Karena merupakan salah satu makanan khas Imlek. Tetapi tak ada lagi kue keranjang goreng buatan ibu. Kue keranjang goreng yang dibuat dengan sentuhan cinta. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H