Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banjir, Mengingatkanku pada Cinta Pertama

4 Januari 2020   06:39 Diperbarui: 4 Januari 2020   06:57 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan mulai reda. Banjir pun perlahan mulai surut. Saya kembali ke rumah usai mengungsi akibat banjir yang menerjang wilayah tempat tinggal.

Bingung. Mau  mulai darimana? Melihat rumah yang seperti kapal pecah. Semua ingin dirapikan. Tentu saja harus ada yang diprioritaskan.

Akhirnya saya mengeluarkan semua barang-barang ke halaman. Kemudian menyemprot rumah dan mengepelnya dengan rapi. 

Setelah lantai dan tembok terlihat bersih. Langkah selanjutnya membereskan buku dan berkas-berkas yang sebagian terkena air. 

Dengan sedih hati ada beberapa buku yang harus direlakan untuk dibuang. Sebab sudah  tidak bisa diselamatkan.

Saat sedang membereskan berkas-berkas. Saya menemukan amplop yang begitu diihat ternyata surat cinta. Basah tetapi tintanya masih jelas dan tidak hilang.

Ya, Tuhan. Surat cinta pertama saya di tahun 1994. Dua puluh enam tahun silam. Rupanya masih tersimpan rapi. Meski terlupakan. Atas kuasa-Nya surat itu tidak luntur. Ditunjukkan kembali pada saya.

Dengan perasaan haru, saya baca kalimat yang tertera dalam sampul tersebut.

Kepada Yang Kucintai

Erni Purwitosari

Ya, Tuhan. Saya kembali teringat bagaimana merah padamnya wajah ini saat pak pos mengantar surat tersebut. Tahun 1994 itu komunikasi jarak jauh masih menggunakan surat. Telepon atau telegram hanya digunakan untuk hal-hal penting.

"Cieee...surat dari pacar nih ye?" goda pak pos.

Saya menerimanya dengan malu-malu. Saat akan membacanya pun jantung saya berdebar-debar. Namanya juga surat cinta. 

Ketika membaca surat cinta tersebut, saya tak sanggup berkata-kata. Betapa dalam dan besarnya perasaan cinta yang ia curahkan. 

Ini bukan cinta monyet. Saya sudah lulus sekolah dan sedang mengikuti kelas bahasa Inggris untuk karyawan. Persiapan untuk masuk bekerja. Sementara si dia kuliah sambil bekerja. 

Karena keadaan, kami berpisah tanpa kata putus. Surat cinta itu saya simpan begitu saja tanpa ada niat untuk membakarnya. Terlupakan seiring perjalanan waktu dan roda kehidupan yang dijalani. 

Silih berganti cinta lain datang dan ingin menetap. Tetapi entah kenapa tak bertahan. Sampai akhirnya saya dan dia (cinta pertama) itu dipertemukan kembali. 

Setelah puluhan tahun berpisah. Rasa itu ternyata tetap sama seperti saat pertama dulu kami saling menyatakan cinta.

Kami pun memutuskan untuk bersama kembali. Saya tidak tunjukkan surat cinta itu kepadanya. Biarkan menjadi dokumen dan arsip spesial.

Tetapi saya menggodanya dengan bisikan lembut.

"Say, aku masih nyimpan surat cinta dari kamu loh!"

"Oh, ya? Untuk apa? Kan orangnya sudah di depan mata. Tak harus membaca surat kalau rindu."

Saya hanya tersenyum penuh arti. Perempuan memang seperti itu. Saya saja mungkin. Selalu menyimpan dengan apik apa-apa yang terkait dengan hati.

Dibalik musibah banjir ini rupanya ada sesuatu yang ternyata bisa menguatkan rasa. Yaitu cinta. (EP)

Kreo, Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun