Ya, Tuhan. Saya kembali teringat bagaimana merah padamnya wajah ini saat pak pos mengantar surat tersebut. Tahun 1994 itu komunikasi jarak jauh masih menggunakan surat. Telepon atau telegram hanya digunakan untuk hal-hal penting.
"Cieee...surat dari pacar nih ye?" goda pak pos.
Saya menerimanya dengan malu-malu. Saat akan membacanya pun jantung saya berdebar-debar. Namanya juga surat cinta.Â
Ketika membaca surat cinta tersebut, saya tak sanggup berkata-kata. Betapa dalam dan besarnya perasaan cinta yang ia curahkan.Â
Ini bukan cinta monyet. Saya sudah lulus sekolah dan sedang mengikuti kelas bahasa Inggris untuk karyawan. Persiapan untuk masuk bekerja. Sementara si dia kuliah sambil bekerja.Â
Karena keadaan, kami berpisah tanpa kata putus. Surat cinta itu saya simpan begitu saja tanpa ada niat untuk membakarnya. Terlupakan seiring perjalanan waktu dan roda kehidupan yang dijalani.Â
Silih berganti cinta lain datang dan ingin menetap. Tetapi entah kenapa tak bertahan. Sampai akhirnya saya dan dia (cinta pertama) itu dipertemukan kembali.Â
Setelah puluhan tahun berpisah. Rasa itu ternyata tetap sama seperti saat pertama dulu kami saling menyatakan cinta.
Kami pun memutuskan untuk bersama kembali. Saya tidak tunjukkan surat cinta itu kepadanya. Biarkan menjadi dokumen dan arsip spesial.
Tetapi saya menggodanya dengan bisikan lembut.
"Say, aku masih nyimpan surat cinta dari kamu loh!"