Ingin merasakan sensasi dikerumuni banyak kera? Tak perlu jauh-jauh ke Bali. Bagi Anda orang Banyumas atau yang melintasi Banyumas kala mudik. Cobalah untuk singgah di Masjid Saka Tunggal. Salah satu objek wisata yang ada di daerah Wangon, Banyumas. Tepatnya di desa Cikakak. 30 kilometer dari Kota Purwokerto.
Masjid Saka Tunggal merupakan masjid tertua di wilayah ini. Bisa jadi merupakan masjid tertua di Indonesia. Didirikan pada tahun 1288 Hijriyah atau 1522 Masehi oleh Mbah Mustolih. Namanya masjid Jami Baitussalam.
Untuk menuju lokasi ini sangat mudah. Ada papan petunjuk jalan yang cukup jelas di sepanjang Jalan Wangon Raya. Mengikuti arah petunjuk jalan, kita akan dibawa masuk melalui jalan yang tidak terlalu besar dengan kanan kirinya rumah penduduk desa atau pepohonan.
Kita seperti digiring menuju sebuah bukit. Ya, masjid ini memang berada di bawah kaki bukit Cikakak. Begitu tiba di pintu masuk objek wisata Masjid Saka Tunggal, kita disodori tiket masuk yang tergolong murah. Namun diminta membeli kacang atau pisang seharga puluhan ribu rupiah.
"Untuk monyet-monyet di sana. Monyet nya banyak," ujar para pedagang yang menjajakan kacang tersebut.
Saya pikir paling hanya beberapa monyet. Jadi hanya membeli kacang sekadarnya. Usai membayar tiket masuk dan membeli kacang, saya dipersilakan masuk serta parkir di halaman masjid.Â
Begitu mendekati arah masjid, saya lihat puluhan ekor monyet turun dari bukit mendekat ke arah kami. "Wuduh," pikir saya. Tetapi juru kunci masjid tersebut sudah tanggap. Begitu saya turun dari kendaraan, ia segera meraih barang-barang kami seperti helm dan jaket untuk dibawanya masuk ke dalam masjid.Â
Semua yang kami bawa dimintanya untuk disimpan dalam masjid. Agar kami bisa bebas keliling masjid. Ketika kami keluar dari masjid, saat itulah kami harus memberinya makanan agar tidak dikuti terus.Â
Awalnya saya takut dicakar. Tetapi kata juru kuncinya monyet-monyet itu tidak galak. Akhirnya saya berani untuk memberi makan dan melihat tingkah polahnya. Asik juga ternyata melihat monyet-monyet yang turun dari bukit dan menikmati makanan yang kita berikan.
Kemudian saya berkeliling melihat area masjid yang ternyata masih digunakan untuk ibadah seperti biasa oleh warga setempat. Masjid yang sederhana dengan interior berupa anyaman bambu bermotif wajik.
Disebut masjid Saka Tunggal karena didalamnya terdapat saka atau tiang besar yang menyanggahnya. Tiang berwarna hijau dipenuhi ukiran bunga. Filosofi yang terkandung dari tiang tersebut adalah manunggalnya atau bersatunya manusia dengan Sang Pencipta. Begitu menurut keterangan yang didapatkan.
Menariknya lagi, konon monyet-monyet yang ada di bukit itu dulunya penjelmaan dari murid-murid pesantren di masjid itu yang kena kutuk oleh sang guru. Konon ceritanya, ketika hari Jumat tiba. Ada beberapa santri yang tidak melaksanakan salat Jumat. Mereka justru asik bermain di tepi sungai.Â
Sang guru murka. Dalam kondisi emosi ia mengucapkan kata-kata yang menyebut kata monyet didalamnya. Karena memiliki ilmu yang tinggi maka ucapannya dikabulkan oleh Sang Pencipta. Maka berubahlah para santri tersebut menjadi monyet dan lari ke atas bukit.
Oleh karenanya monyet-monyet itu jinak dan setiap hari hidup berdampingan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar lembah. Cukup menarik kisahnya. Boleh percaya boleh juga tidak. Namanya juga konon katanya.
Saya pribadi tertarik mengunjungi tempat ini karena ingin tahu, seperti apa bentuk masjid yang usianya cukup tua ini. Rupanya masih cukup baik dan terawat sampai sekarang. Meski bentuknya memang sederhana sekali.
Selain itu, mosok yo setiap kali mudik melewati tempat ini tak sekali pun menyinggahinya. Maka begitulah, libur natal kemarin saya manfaatkan untuk mudik ke daerah Wangon dan menyinggahi Masjid Saka Tunggal.Â
Tertarik? Silakan datang dan berkunjung ke sana. Nikmati sensasi bermain dengan puluhan monyet. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H