Kemudian saya berkeliling melihat area masjid yang ternyata masih digunakan untuk ibadah seperti biasa oleh warga setempat. Masjid yang sederhana dengan interior berupa anyaman bambu bermotif wajik.
Disebut masjid Saka Tunggal karena didalamnya terdapat saka atau tiang besar yang menyanggahnya. Tiang berwarna hijau dipenuhi ukiran bunga. Filosofi yang terkandung dari tiang tersebut adalah manunggalnya atau bersatunya manusia dengan Sang Pencipta. Begitu menurut keterangan yang didapatkan.
Menariknya lagi, konon monyet-monyet yang ada di bukit itu dulunya penjelmaan dari murid-murid pesantren di masjid itu yang kena kutuk oleh sang guru. Konon ceritanya, ketika hari Jumat tiba. Ada beberapa santri yang tidak melaksanakan salat Jumat. Mereka justru asik bermain di tepi sungai.Â
Sang guru murka. Dalam kondisi emosi ia mengucapkan kata-kata yang menyebut kata monyet didalamnya. Karena memiliki ilmu yang tinggi maka ucapannya dikabulkan oleh Sang Pencipta. Maka berubahlah para santri tersebut menjadi monyet dan lari ke atas bukit.
Oleh karenanya monyet-monyet itu jinak dan setiap hari hidup berdampingan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar lembah. Cukup menarik kisahnya. Boleh percaya boleh juga tidak. Namanya juga konon katanya.
Saya pribadi tertarik mengunjungi tempat ini karena ingin tahu, seperti apa bentuk masjid yang usianya cukup tua ini. Rupanya masih cukup baik dan terawat sampai sekarang. Meski bentuknya memang sederhana sekali.
Selain itu, mosok yo setiap kali mudik melewati tempat ini tak sekali pun menyinggahinya. Maka begitulah, libur natal kemarin saya manfaatkan untuk mudik ke daerah Wangon dan menyinggahi Masjid Saka Tunggal.Â
Tertarik? Silakan datang dan berkunjung ke sana. Nikmati sensasi bermain dengan puluhan monyet. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H