Dahulu sebelum era digital seperti sekarang ini, sekitar tahun 80 dan 90-an jaman saya kecil. Alat komunikasi yang terjangkau adalah dengan menggunakan surat. Terutama untuk komunikasi dengan kerabat yang berada di luar kota.Â
Telepon juga ada, tetapi masih terbatas kalangan tertentu saja yang memilikinya. Kalau pun ada telepon umum, wartel orang menyebutnya. Itu tak cukup memuaskan jika ingin bercerita panjang lebar karena dihitung lama biaya percakapannya.Â
Sementara surat, hanya dengan bermodalkan perangko Rp 3.000, kita bisa bercerita segala macam hingga berlembar-lembar. Hanya saja butuh waktu beberapa hari untuk bisa menerima surat yang dikirim. Kecuali jika menggunakan kilat khusus. Antara satu atau dua hari sudah sampai.
Biasanya, untuk menanyakan sekadar kabar, jarang menggunakan perangko kilat. Perangko biasa saja sudah cukup. Perangko kilat biasanya untuk mengirimkan kabar berita yang kita inginnya segera dibaca oleh si penerima.Â
Lalu, ada telegram yang lebih cepat lagi, tetapi kapasitas berita yang dikirim terbatas. Biasanya telegram untuk mengirimkan berita sangat penting saja, seperti kabar duka cita atau berita sakit.
Surat kilat khusus biasanya untuk mengirimkan surat-surat atau dokumen penting, seperti surat lamaran kerja. Namun surat kilat khusus bisa juga digunakan untuk mengirim surat cinta. Sebab surat cinta tergolong penting bagi si pengirim maupun si penerima.
Surat cinta? Iyes. Zaman saya sekolah dulu sekitar tahun 1980-an ke atas, surat cinta merupakan alat komunikasi paling romantis bagi dua insan yang sedang dilanda cinta. Orang yang sedang jatuh cinta bisa menulis berlembar-lembar kalimat romantis. Padahal kalau bertemu, menyapa pun tidak. Hanya saling tatap, tersenyum dan tersipu malu. Yaa begitulah tipikal remaja tahun 80-an dan 90-an deh.Â
Saya pertama kali menerima surat cinta itu kelas V SD. Mendapatkannya dari kakak kelas yang diletakkan di kolong meja. Zaman saya sekolah dulu itu meja belajar bentuknya panjang dan ada kolongnya alias kotaknya. Gunanya untuk meletakkan beberapa buku dari tas agar mejanya tidak sempit oleh buku-buku.
Sebelum pulang sekolah kolong-kolong itu kita periksa. Khawatir ada peralatan sekolah yang tertinggal. Nah, pada saat itulah saya menemukan selembar surat dari kakak kelas. Namanya juga anak SD, tentu bukan kata-kata cinta yang romantis seperti anak sekarang. Hanya berupa pantun yang rasanya sudah bikin saya jantungan.Â
Pertama tentu saja tersanjung. Saya ingat betul bunyi pantun tersebut. Seperti ini bunyinya:
Beribu-ribu semut rangrang
Hanya satu yang berbelang tiga
Beribu-ribu gadis Larangan
Hanya satu yang kucinta
Cieee....suit-suit. Bisa dibayangkan kan bagaimana perasaan saya saat itu? Larangan adalah kampung  tempat tinggal saya. Duh, bisa aja tuh kakak kelas. Pasti nilai bahasa Indonesianya delapan.
Kedua, surat cinta yang diterima bisa membuat hati takut. Iya, takut ketahuan teman-teman. Wah, bisa diadukan kepada wali kelas dan diledek. Jaman dulu itu rasanya malu sekali kalau ketahuan berduaan dengan teman laki-laki.
Akhirnya saya simpan dengan hati-hati surat tersebut. Sampai di rumah pun seperti itu. Takut ketahuan orangtua. Jadilah bingung mau disimpan di mana. Aish...kalau diingat-ingat lucu juga ya? Selembar surat loh bisa bikin kita jantungan, bingung dan tak bisa tidur memikirkan cara menyimpannya. Â
Menginjak SMP dan SLTA orangtua sudah maklum. Jadi ketika menerima surat terutama lewat pak pos sudah tak takut lagi. Karena surat cintanya sudah berbaur dengan surat-surat dari sahabat pena atau kartu ucapan dari kawan.Â
Namun tetap saja jantungan ketika di antara surat-surat itu ada surat dari seseorang yang spesial. Ah, ternyata jantungan itu tak hanya disebabkan oleh kolesterol. Melainkan dari selembar surat cinta pun bisa. Bagaimana tidak? Kalau jantung kita menjadi berdebar-debar tak karuan dibuatnya. Berkeringat dingin saat bertatap muka dan ngobrol berdua. Ternyata dahsyat juga efek dari selembar surat cinta. (EP)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI