Mohon tunggu...
Denik13
Denik13 Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jamu Bungkus, (Ternyata) Masih Jadi Primadona di Era Milenial

10 Juli 2019   10:05 Diperbarui: 14 Juli 2019   06:36 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang jamu langganan - Dokpri

Saya dibesarkan oleh orang tua dalam tatanan tradisi Jawa yang cukup kental. Salah satunya tradisi minum jamu. Bagi anak perempuan yang sudah mulai datang bulan minum jamu itu hukumnya wajib. 

"Biar badannya seger. Enggak bau," dalih ibu. 

Awalnya hanya sebatas minum jamu kunyit asem dan beras kencur. Selanjutnya pelan-pelan ditingkatkan. Mulai dari jamu godokan yang pahitnya luar biasa itu sampai jamu bungkus sehat wanita, galian putri dan lancar datang bulan. Bahkan dibisiki tentang jamu sari rapet yang minumnya kalau sudah bersuami.

Jenis jamu bungkus - Dokpri
Jenis jamu bungkus - Dokpri

Sebagai anak hanya bisa iya, iya saja daripada diceramahi sepanjang hari kalau tak mau minum jamu. Akhirnya minum jamu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Apalagi ibu rajin menggodok jamu sendiri. Jika tak enak badan barulah minum jamu bungkus di tukang jamu pangkalan. 

Setelah ibu tiada kebiasaan tersebut mulai berkurang. Saya sesekali masih suka minum jamu kunyit asem atau beras kencur. Itu pun kalau bertemu dengan si mbak penjual jamunya. Entah dengan adik-adik. Sebab setelah berumah tangga tempat tinggal kami berjauhan. 

Ternyata salah satu adik perempuan saya masih rutin minum jamu bungkus setiap bulan. Apalagi kalau sedang tidak enak badan. Hal ini saya ketahui ketika saya ingin berkunjung ke rumahnya. Ia japri meminta saya lewat jalan X. 

"Lewat sana aja, Mba. Gue titip jamu yang ada di pojokan jalan."

"Jamu apaan? Enggak ngerti ah gue," kata saya.

"Bilang aja jamu titipan si Mba yang biasanya beli. Bilang gue lagi gak enak badan. Tukangnya dah hapal jamu yang gue butuh."

Akhirnya saya pun lewat jalan X untuk membeli jamu. Di sana sudah ada beberapa pembeli. Ada ibu-ibu dan bapak-bapak serta anak muda. Saya menunggu giliran sambil  duduk di bangku kayu dan mendengarkan obrolan mereka yang bikin senyum-senyum.

"Bapak masih rajin minum jamu juga," tanya si anak muda.

"Lha, iya. Jamu kuat lelaki. Biar 'kuat'," kata si bapak sambil tersenyum.

"Sampean sendiri pesan jamu apa? Dari tampilan sih belum berkeluarga," kata si bapak balik bertanya.

"Iya Pak. Saya masih belum menikah. Ini nyari jamu tolak angin dan untuk badan pegal-pegal," sahut si anak muda. 

"Saya kerjanya ojek online seharian. Jadi harus minum jamu untuk menjaga stamina," lanjut si anak muda.

"Kalau ibu beli jamu apa?" tanya si bapak kepada ibu di sebelah saya. 

"Pastinya bukan jamu singset ayu sih, Pak. Udeh kagak bisa singset lagi," sahut si ibu.

Si bapak tertawa. Saya dan anak muda itu hanya senyum-senyum mendengar jawaban si ibu. Untungnya jamu pesanan si bapak sudah selesai. Jadi saya tak kebagian ditanya-tanya.

Saya sempat ngobrol-ngobrol dengan si anak muda sambil menunggu pesanan jamu yang belum selesai. Dari obrolan itu ternyata si anak muda yang notabene generasi milenial masih sangat percaya akan khasiat jamu. 

Meski bukan mendapat didikan langsung dari orang tua seperti yang saya alami. Ia tahu bahwa sejak dulu jamu memiliki khasiat dan menjadi andalan orang-orang jaman dulu. Apalagi teman-temannya sesama ojol juga mengandalkan jamu untuk menjaga stamina. 

"Saya lebih suka minum jamu dibandingkan suplemen yang beredar di pasaran," ujarnya.

Iya, sih. Begitu juga dengan adik saya. Kata saya dalam hati. Ini soal keyakinan juga sih. Mungkin kalau saya dan adik-adik masih setia dengan jamu, itu karena didikan orang tua. Sementara si anak muda yang generasi milenial tentu karena kesadaran sendiri. 

Hal tersebut membuktikan bahwa jamu bungkus dengan segala khasiatnya masih menjadi primadona di beberapa kalangan. Meski pedagang jamu tak sebanyak dulu. Namun keberadaannya masih dibutuhkan. 

Jika ada yang berpendapat, "Hari gini jualan jamu apa ya masih laku?" Ups. Jangan salah. Masih sangat laku. Buktinya tukang jamu langganan adik saya ini sudah puluhan tahun setia dengan jamunya. Karena memang ada peminat dan pelanggan setianya. Adik saya salah satunya. 

Lantas bagaimana dengan isu yang sempat beredar kalau minum jamu tidak bagus untuk ini dan ini?

"Namanya orang dagang mah ada aja Neng isu yang menerpa. Jangankan jamu. Tahu aja pas ada isu begini begitu bikin pembeli kabur. Saya mah enggak pernah takut. Selama yang kita jual memang bener. Alhamdulillah saya puluhan tahun jualan jamu enggak pernah ada masalah," terang si bapak penjual jamu.

Intinya rezeki memang sudah ada yang mengatur. Mau berdagang apa saja pasti ada pasarnya tersendiri. Yang penting selalu menjadi pedagang yang baik. (EP) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun