Cara minum teh mereka pun tidak seperti yang biasa saya lakukan. Di sini saya disuguhi segelas teh tawar hangat dalam gelas yang terbuat dari bambu. Lalu semangkuk irisan gula aren dalam mangkuk yang terbuat dari batok kelapa.Â
Untuk menikmati teh hangat tersebut saya harus mengulum gula aren yang sudah disediakan. Baru mencecep teh tawar yang ada di gelas bambu. Awalnya kikuk dan bingung saja. "Kenapa tidak dicampur dan diaduk langsung saja seperti kebiasaan saya dalam menyeduh teh." Tetapi itulah adat kebiasaan mereka. Yang ternyata seru dan mengasyikkan juga. Dan saya rindukan kembali ketika sudah kembali ke rumah.
Ditemani sekerat kue rangi asli Betawi, rasanya sudah nikmat sekali. Cukup sebagai pelepas rindu akan suasana ngeteh di perkampungan Baduy Dalam. Sebab untuk mengulang perjalanan ke sana tak mudah.Â
Butuh fisik kuat dan mental baja. Sebab kita benar-benar berjalan kaki untuk memasuki perkampungan Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Luar biasa, sebab masih tetap terjaga seperti itu.Â
Padahal jaraknya dengan ibukota tidak terlalu jauh dan terbuka luas akses untuk menuju modernisasi. Tapi itulah Baduy. Suku yang masih kuat menjaga tradisi. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H