Mohon tunggu...
Denies Novelia
Denies Novelia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Luka Menjadi Lentera

12 November 2024   08:17 Diperbarui: 12 November 2024   08:39 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap orang memiliki ketakutan, hidup dalam ketakutan, hingga pada akhirnya mereka tenggelam dalam ketakutan itu sendiri. Sebagian menganggap hal itu wajar, sebagian tidak. Ada orang yang menutupi, ada pula yang terang-terangan menunjukkan ketakutan tersebut. Namun, dia menganggap ketakutan adalah bagian yang tidak bisa ditutupi, tidak juga bisa ditunjukkan begitu saja. 

Ketakutannya merupakan sesuatu yang wajar, sekaligus tidak wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Ia menatap bayangannya di cermin, matanya berkaca-kaca. Ketakutannya, seperti hantu yang tak pernah pergi, selalu mengintai di balik pikirannya. Kadang terasa begitu nyata, hingga ia merinding sendiri. Dia ingat betul pertama kali merasakan ketakutan yang begitu mendalam.

  

  Saat itu, ia masih SD, anak pindahan dari luar kota. Hari pertama dan kedua, tidak ada hal yang aneh dan ia merasa nyaman didalam kelas. Tapi seiring berjalannya waktu mulai banyak hal yang menganggunya, setiap ia pergi ke perpustakaan ia mendapatkan gangguan dari kakak kelasnya yang suka membully. 

Kejadian tersebut terjadi, dihari Jumat siang waktu ia pulang sekolah, kakak kelas tersebut sudah mengincarnya, tapi dia pikir bukan dia yang akan diganggu maka dari itu ia berjalan santai di lorong sekolah menuju gerbang sekolah, setibanya ditengah lorong sekolah segerombolan kakak kelas tersebut menghampir dia dan salah satu dari mereka mengucapkan kata-kata yang membuatnya sakit hati, tak hanya itu saja mereka semua menertawakan dia, sampai terdengar oleh setiap siswa yang lewat di lorong tersebut. 

Bukan hanya ejekan, tapi mereka juga mengambil isi tasnya, ia keluarkan buku-buku yang ada di dalam tasnya. Sejak saat itu, ketakutan itu tumbuh subur dalam dirinya, seperti akar yang menembus retakan di dinding hati. Dia mencoba berbagai cara untuk mengatasi ketakutannya. Ia membaca buku-buku tentang psikologi, mengikuti terapi, bahkan mencoba hobi baru. 

Namun, ketakutannya selalu kembali, seperti ombak yang tak pernah berhenti menerjang pantai. Oliva selalu terjebak dalam ketakutan, tak pernah ia keluar dalam ketakutan tersebut. Kejadian itu terus ia ingat saat bertemu dengan segerombolan orang, bukan cuma satu kejadian yang pernah buat dia ketakutan. Saat Oliva masuk kelas 7 SMP, ia pikir tak akan ada hal seperti dulu lagi. 

Oliva merasa tenang, dia berusaha untuk berkomunikasi dengan teman kelasnya dan bermain bersama. Hal tersebut sama sekali tak berhasil ketakutan Oliva terus menghantui dia. Sampai Oliva memasuki masa remaja berumur 17 tahun, sekolah seperti biasa tapi berbedanya ia sudah mempunyai satu teman. 

Laras teman Oliva, ia berteman cukup lama dari awal masuknya masa SMA sampai ia berada dikelas yang sama selama 2 tahun. Dalam pertemanan mereka banyak yang merasa iri, Laras yang selalu ada untuk Olivia dan sebaliknya juga. Banyak yang menduga bahwa mereka berdua seorang kakak beradik. 

Hal tersebut mendukung Oliva untuk melawan ketakutannya, ia mulai dengan menemani Olivia pergi kemana pun. Seiring berjalannya waktu, ternyata Laras harus pindah ke Surabaya, karena ayah Laras harus bekerja disana tak ada pilihan lain selain mengikuti perkataan ayah dan ibunya. 

Laras dan Olivia terpaksa harus berpisah, Laras berjanji pada Olivia bahwa ia akan kembali ke kota ini dan berteman seperti dulu. 2 Bulan semenjak Laras pergi, Oliva kembali merasa kesepian dan ketakutannya mulai merayap kembali.

 Ia merasa kehilangan sosok yang selalu ada untuknya. Ketakutan akan ditinggalkan dan dikhianati semakin mengakar dalam dirinya. Oliva mencoba mengisi kekosongan hatinya dengan berbagai aktivitas. Ia aktif dalam organisasi sekolah, mengikuti berbagai lomba, dan mencoba menjalin pertemanan baru. 

Namun, di balik senyum cerahnya, ia masih merasa ada yang kurang. Ketakutannya seperti bayangan yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. Oliva mulai bertanya-tanya, mengapa ketakutannya begitu sulit untuk dihilangkan? Ia merasa lelah berjuang melawan perasaan takut yang terus menghantuinya. Ia ingin sekali hidup bebas dari ketakutan, namun rasanya begitu sulit. 

  

  Cahaya masuk kesela-sela jendela kamar Oliva, ia terbangun dari tidurnya melangkah ke arah jendela membuka secara perlahan, saat jendela terbuka terlihat saat indah cuaca hari itu. Lama ia melamun ke arah luar jendela, tiba-tiba terlintas dipikiran Olivia bahwa ia akan memutuskan untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog. Dalam perjalanan ke psikiater, ia merasa gugup tapi dengan tekat yang tinggi ia berusaha untuk menghilang kecemasan tersebut. 

Sesampainya si di tempat tersebut ia memasuki ruang yang sudah disediakan, sebelum Olivia datang kesini, ia menghubungi seorang psikolog yang akan membantunya, jadi saat Olivia sudah tiba ditempatnya ia tak butuh banyak bicara ke orang lain. 

Dalam ruang berwarna putih, jendela terbuka sedikit, meja yang tertata rapi dan dua kursi yang menghadap ke arah meja. Aroma ruang terapi, ia hirup perlahan hal tersebut membuat Olivia tenang dan nyaman. Selama sesi terapi, Oliva mulai menyadari bahwa ketakutannya yang mendalam berakar dari pengalaman buruk di masa lalu. 

Kejadian bullying di sekolah dasar telah meninggalkan luka yang begitu dalam di hatinya. Psikolognya menjelaskan bahwa ketakutan adalah mekanisme pertahanan diri yang alami. Namun, jika ketakutan itu terlalu berlebihan dan mengganggu kehidupan sehari-hari, maka perlu penanganan khusus. Sepulang dari sana Olivia berpikir, apa yang harus ia lakukan?. 

Olivapun mulai belajar untuk menerima ketakutannya. Ia menyadari bahwa ketakutan adalah bagian dari dirinya, dan tidak ada yang salah dengan itu. Ia juga belajar teknik-teknik relaksasi dan meditasi untuk mengelola kecemasannya. Perlahan tapi pasti, Oliva mulai merasa lebih baik. Ia mulai berani keluar dari zona nyamannya dan mencoba hal-hal baru. 

Ia juga belajar untuk lebih percaya diri dan menghargai dirinya sendiri. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang ketakutannya, Oliva mulai merangkai kembali kehidupannya. Ia menyadari bahwa masa lalu memang tidak bisa diubah, namun ia bisa mengubah cara ia merespons masa lalu itu. 

Dengan dukungan dari psikolog dan orang-orang terdekatnya, Oliva perlahan mulai sembuh. Oliva mulai mencoba hal-hal yang dulu membuatnya takut. Ia mengikuti kelompok diskusi di lingkungan sekolahnya, bergabung dengan ekstrakurikuler yang ia minat, dan bahkan mencoba untuk berbicara di depan kelas saat melakukan presentasi bersama kelompoknya. 

Setiap kali berhasil mengatasi ketakutannya, ia merasa semakin kuat dan percaya diri. Oliva juga mulai membangun hubungan yang lebih sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Ia belajar untuk lebih terbuka dan jujur tentang perasaan dan pikirannya. Ia juga belajar untuk membatasi diri dari orang-orang yang berpotensi membuatnya merasa tidak nyaman. 

  

  Perjalanan Oliva dalam mengatasi ketakutannya tidak selalu mudah. Ada kalanya ia merasa putus asa dan ingin menyerah. Namun, ia selalu berusaha untuk bangkit kembali. Ia menyadari bahwa kebahagiaan itu adalah pilihan. Ia bisa memilih untuk terus terjebak dalam ketakutan atau memilih untuk hidup bahagia. 

Setelah berhasil mengatasi ketakutannya, Oliva merasa terpanggil untuk membantu orang lain yang mengalami hal yang sama. Ia berkeinginan jika nanti Olivia lulus dari masa sekolahnya, dia ingin menjadi relawan di sebuah organisasi yang membantu korban bullying. Ia ingin berbagi pengalamannya dan memberikan dukungan kepada mereka yang sedang berjuang. Seiring berjalannya waktu, Oliva semakin kuat dan percaya diri. 

Pengalamannya dalam mengatasi ketakutan menjadikannya pribadi yang tangguh dan empati. Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing, dan bahwa berbagi cerita dapat menjadi kekuatan yang luar biasa. Ketika duduk di bangku kelas 12 SMA, Oliva mulai aktif berbagi kisahnya. Ia menulis blog tentang pengalamannya, berbicara di depan kelas tentang pentingnya kesehatan mental, dan bahkan menjadi pembicara tamu di beberapa acara sekolah. 

Pesan-pesannya menginspirasi banyak teman sebayanya untuk lebih terbuka tentang perasaan mereka dan mencari bantuan jika mereka membutuhkan. Oliva juga ikut mendirikan sebuah kelompok dukungan di sekolahnya, tempat para siswa bisa saling berbagi cerita dan pengalaman. Kelompok ini menjadi tempat yang aman bagi mereka untuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut dihakimi.

 Setelah lulus SMA, Oliva melanjutkan studinya di bidang psikologi. Ia ingin mempelajari lebih dalam tentang kesehatan mental dan membantu lebih banyak orang. Selama kuliah Oliva punya teman yang sama sepertinya di masa lalu, Olivia merasa nyaman saat berteman dengannya. Sering berpergian bersama Olivia dan Nico teman yang punya nasib sama seperti Olivi, ia dan Nico aktif sebagai relawan di berbagai organisasi yang peduli terhadap anak-anak dan remaja.

  

  Beberapa tahun kemudian, Oliva membuka praktiknya sendiri sebagai seorang psikolog. Ia sangat senang dapat membantu orang lain mengatasi masalah mereka, terutama mereka yang pernah mengalami pengalaman traumatis seperti yang pernah dialaminya. 

Praktik Oliva semakin berkembang dari hari ke hari. Kliennya beragam, mulai dari anak-anak yang mengalami kesulitan di sekolah, remaja yang sedang mencari jati diri, hingga orang dewasa yang menghadapi masalah dalam hubungan atau pekerjaan. Melalui pendekatan yang hangat dan empati, Oliva berhasil membantu banyak orang untuk mengatasi trauma masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik. Nama Oliva semakin dikenal di kalangan psikolog dan masyarakat luas.

 Ia sering diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar dan konferensi tentang kesehatan mental. Melalui platform media sosial, Oliva juga aktif berbagi tips dan informasi tentang kesehatan mental. Banyak orang yang merasa terbantu dengan tulisan dan video yang dibuatnya. Oliva selalu berpesan "Ketakutan adalah hal yang manusiawi. 

Kita semua pernah mengalaminya. Namun, kita tidak perlu membiarkan ketakutan mengendalikan hidup kita. Dengan bantuan yang tepat, kita bisa mengatasi ketakutan dan hidup bahagia. Jangan pernah menyerah pada mimpi-mimpi Anda." Ia bangun semuanya dengan keberanian yang ada pada dirinya sendiri dengan dukungan orang yang selalu ada untuknya.

  

  Seiring waktu, Oliva semakin sibuk menjalankan praktiknya. Hari-harinya diisi dengan mendengarkan cerita, memberikan saran, dan membantu kliennya menelusuri ketakutan serta luka batin mereka. Setiap kasus yang ia tangani membuatnya teringat pada perjalanan panjang yang pernah ia lalui. Ia tak hanya membantu orang lain, tetapi juga semakin memahami dirinya sendiri dan betapa besar pengaruh masa lalu dalam membentuk seseorang. 

Matahari semakin menghilang dari permukaanan bumi, cahaya oren membuat langit semakin indah saat dilihat, angin berhembusan dengan tenang, setelah menyelesaikan sesi terapi terakhirnya hari itu, Oliva menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal. Dengan lembut, ia menjawab. 

"Halo, ini Oliva." Suara di seberang terdengar bergetar, mengungkapkan kesedihan dan rasa putus asa. Suara itu mengingatkan Oliva pada masa lalunya, pada seorang gadis yang pernah dia kenal. 

"Tolong, Oliva... Aku tidak tahu harus bicara dengan siapa lagi," kata suara tersebut. Oliva terdiam sejenak. Kemudian, suara itu memperkenalkan diri. 

"Ini Laras." Jantung Oliva berdegup kencang. 

Laras, sahabatnya dari masa SMA, yang selama ini hanya dapat ia kenang, kini kembali. Terakhir kali mereka berbicara adalah bertahun-tahun lalu ketika Laras dan keluarganya pindah ke Surabaya. Sejak itu, mereka sempat beberapa kali bertukar pesan, tetapi hubungan mereka perlahan merenggang seiring waktu dan jarak yang memisahkan. 

Oliva mendengarkan Laras yang mulai menceritakan kisahnya, tentang pernikahannya yang ternyata tidak seindah yang ia harapkan. Tentang perasaan terperangkap dalam hubungan yang membuatnya kehilangan jati diri. Laras merasa ketakutan---takut jika ia tak lagi mengenali dirinya sendiri.

"Aku... Aku tidak tahu lagi siapa aku, Oliva," Laras terisak

"Aku ingin lari, tapi aku takut. Aku takut membuat keputusan yang salah. Aku takut pada apa yang akan terjadi setelah ini."

Oliva mengingatkan dirinya untuk tetap tenang dan mendengarkan dengan sepenuh hati. Di antara rasa haru dan rasa sakit mendengar sahabatnya menderita, ia berkata, 

"Laras, kau telah melakukan hal yang paling berani hari ini. Kau menghubungi seseorang yang peduli padamu. Itu langkah besar."

  Malam itu, Oliva dan Laras berbicara panjang lebar, seperti dulu, saat mereka masih di SMA. Namun, kali ini, Oliva yang memberikan dukungan, menawarkan pemahaman, dan menjadi bahu untuk Laras bersandar. Setelah itu, Laras mulai berkonsultasi dengan Oliva secara berkala. Oliva membantu Laras menjalani perjalanan batinnya, membantunya memahami bahwa rasa takut dan ketidakpastian adalah bagian dari proses pertumbuhan. 

Perlahan-lahan, Laras belajar untuk mengambil kendali atas hidupnya, memahami apa yang ia inginkan, dan mengambil langkah-langkah kecil menuju kebebasan. Waktu demi waktu persahabatan mereka pun semakin erat, seperti dulu. Bersama-sama, mereka belajar untuk menghadapi ketakutan, dan juga untuk saling menguatkan. Dengan dukungan dari Oliva, Laras mulai membangun kembali kepercayaan diri dan ketenangan dalam dirinya. 

Bagi Oliva, membantu Laras adalah pengalaman yang mengingatkannya bahwa setiap perjuangan, setiap luka, selalu membawa makna yang mendalam. Ia tersadar bahwa dalam hidup, tidak ada yang sia-sia, bahkan ketakutan dan kesedihan yang pernah ia alami ternyata membentuknya menjadi seseorang yang kuat, seseorang yang bisa memberikan kekuatan bagi orang lain.

  Di setiap sesi terapi dan pertemuan yang ia jalani, Oliva merasa seperti mengembalikan kebaikan yang pernah ia terima dari sahabat-sahabat, dari psikolog yang dulu menolongnya, dan dari perjalanan panjang yang pernah ia lewati. Oliva tahu, ini adalah panggilan hidupnya. Dan di setiap langkah yang ia ambil, ia semakin yakin bahwa dirinya tidak lagi dikendalikan oleh ketakutan. 

Kini, ia hidup dengan keberanian dan kehangatan, menjadi lentera bagi mereka yang masih berjuang di tengah kegelapan. Dalam hati, Oliva berbisik pada dirinya sendiri, "Ini adalah hidup yang kuinginkan. Dan aku tak akan pernah berhenti berjalan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun