Seumur-umur baru tahu nama asli si Bunbun itu Yongsiebun. Adiknya Bun-bun namanya Kimbun, biasa dipanggil Kikim. Adiknya Kikim namanya Yongbun. Adiknya Yongbun perempuan, namanya Punpun.
Tetapi kata Bunbun, si Kikim sudah meninggal, kena sakit paru-paru.Â
Si Bunbun ini waktu kecilnya pemimpin anak-anak kecil di Gang H. Paling pintar main bola, pintar main basket dan pintar cukur rambut. Tidak ada semangat permusuhan kalau 'ngadu' sama anak kampung lain, karena Bunbun selalu disegani dan disukai.
Tampangnya memang Cina tetapi sudah kecoklatan kulitnya. Ayahnya Pak Tjapsen dan mamanya masih pintar bahasa Cina entah varian yang mana. Di Gang H ada juga Mamanya Yungyung yang pengusaha kue talam singkong. Kalau mereka berdua ketemu biasanya ngomong pakai bahasa Cina itu, yang orang lain tidak paham.
Kikim itu pernah ngerjain saya. Semua layangan putus yang saya kumpulkan satu demi satu dari atas loteng rumah saya dimainkan semua sama Kikim, sampai putus.
Yongbun sama dengan Abangnya. Pintar main bola. Kalau Punpun kurang akrab karena perempuan dan usianya lebih kecil.
Jarak usia saya sama Bunbun juga lumayan jauh. Mungkin sekitar 5-10 tahunan. Jadi dia itu bukan sepantaran, makanya jarang ngobrol. Tetapi kira-kira dua tahun lalu saya girang ketemu Bunbun di Facebook. Ternyata dia sudah masuk Islam dan sudah punya anak istri. Papa mamanya masih hidup dan Bunbun meneruskan berdagang mie ayam di kawasan Penggilingan Jakarta Timur.
Waktu saya temui  (26/11/22) Bunbun sudah pindah kios ke Jl. Cempaka Klender Jakarta Timur. Sebenarnya itu kios mamanya. Tetapi karena mamanya sudah mulai sakit-sakitan, kios Mie Ayam Bangka Rafi di Penggilingan dia tutup sementara dan pindah ke Klender.
Orang-orang Tionghoa di Gang H lebur saja dengan yang lain. Tidak ada namanya stigmatisasi apalagi rasisme. Bertetangga dan berteman tidak pandang bulu: pribumi atau non-pribumi, kalau ngobrolnya nyambung dan sama-sama rakyatnya pasti kompak.
Orang-orang Tionghoa yang ada di televisi, yang jadi tokoh, yang masuk Islam --saya rasa sama saja seperti orang kita: ada yang kaya ada yang miskin, ada yang ramah ada yang songong, ada yang jaga jarak tapi banyak juga yang larut sama sekitarnya: Cinanya sudah tidak kelihatan lagi.
Belakangan saya tahu bahwa stigmatisasi dan sterotyping juga menimbulkan penderitaan tersendiri di kalangan keturunan Tionghoa.
Sri Bintang Pamungkas dalam salah satu wawancara pernah bilang bahwa orang Cina itu kalau masuk Islam pura-pura. Ya tentu itu tidak benar. Saya rasa orang Tionghoa sama saja seperti yang lain. Manusia juga.
Di awal abad XX, orang Tionghoa ada yang pro Belanda dan ada yang pro Indonesia. Sudah jadi fakta sejarah memang ada orang Tionghoa yang pro kemerdekaan dan pro republik. Terus kita sempat bangga pada Rudi Hartono dan Liem Swie King, Â tahu-tahunya dua-duanya orang Cina. Ateng pelawak itu orang Cina. Terus Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti. Terus Anton Medan, Alifudin El-Islami, sampai Jaya Setiabudi ternyata muslim, Dedi Corbuzier masuk Islam, terus Steven Indra Wibowo malah aktivis mualaf center, sampai ke rumor Daniel Mananta masuk Islam kita yang non-Tionghoa senang betul. Kita girang kalau ada orang Cina masuk Islam.Â
Bagi saya yang penting kan muslim? Kalau merujuk pada Islam, Islam tidak pernah menyoal asal-usul ras: asal dia muslim dan bertakwa, ya sama di mata Allah.
Isu-isu kemanusiaan dan bayangan saya tentang orang Cina di Indonesia nyatanya lebih didasarkan pada harapan laten dan simpati bahwa mereka yang distigma cinta dunia: tahunya dagang dan urusan dunia, eksklusif sama kelompoknya, ternyata mau masuk agama saya. Tetapi kalau pun tidak masuk agama saya, yang penting ramah tamah dan egaliter.
Terus katanya negara kita ini demokrasi, mestinya orang Tionghoa bisa masuk arena politik lebih leluasa, tidak seperti di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Tidak masuk politik akhirnya berjaya di olahraga dan ekonomi. Eh, tetapi Ahok sudah pernah jadi gubernur. Malah di Bangka Belitung orang Cina mendominasi perpolitikan lokal. Andrea Hirata juga punya cerita sendiri soal perilaku orang Cina di Belitung: yang songong ya songong, yang baik hati juga tidak sedikit.
Kalau ngaku negara demokrasi mestinya tidak ada halangan keturunan Cina naik ke kursi kekuasaan. Â Tetapi saya sendiri tidak setuju demokrasi, rujukan saya bukan demokrasi. Rujukan saya Islam. Saya bukan orang hizbut tahrir. Masalahnya sudah banyak yang bilang demokrasi itu tidak lebih dari 'demonkrasi' alias 'demo-crazy'. Yang benar itu musyawarah, sesuai Pancasila sila ke-4: hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Wassalam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI