Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tetralogi Buru Pramoedya A. Toer (2): Subaltern dalam Novel "Anak Semua Bangsa"

5 Januari 2022   07:26 Diperbarui: 5 Januari 2022   07:29 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetralogi Buru (2): Subaltern dalam Novel Anak Semua Bangsa

Novel Anak Semua Bangsa (ASB) merupakan bagian kedua dari tetralogi buru karangan Parmoedya Ananta Toer. Dalam novel ini terdapat kelanjutan cerita kehidupan kaum perempuan yang masih dianggap sebagai golongan subaltern dan terpinggirkan dalam masyarakat sosial. 

Namun, konstruksi konsep perempuan yang masih diposisikan sebagi makhluk kelas kedua telah mulai diputarbalikkan oleh tokoh-tokoh perempuan pada novel ASB. 

Nyai Ontosoroh menjadi tokoh perempuan yang memiliki watak feminis dan melakukan perlawanan atas penindasan sistem-sistem yang telah merugikan kehidupannya. 

Pram menggambarkan tokoh perempuan, dalam hal ini perempuan pribumi yang memiliki beban ganda pada masa kolonial, bangkit untuk menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang memiliki hak sama dengan kaum laki-laki. Perempuan pribumi atau perempuan Dunia Ketiga telah direpresentasikan sebagai golongan subaltern yang terpinggirkan dan tertindas oleh sistem kolonial dan sistem patriarki. 

Bahkan secara umum perempuan Dunia Ketiga telah direpresentasikan sebagai makhluk yang bodoh, miskin, terbelakang, terikat adat, jinak, berorientasi keluarga, selalu mnejadi korban, sementara yang mendorong dan meninggikan swarepresentasi perempuan Barat yang modern, terdidik, yang mandiri, sehat jasmani dan seksualitas, serta 'kebebasan' untuk menentukan keputusan mereka sendiri.

Pada Tetralogi Buru, Pram memperlihatkan dan menarasikan watak perempuan Dunia Ketiga yang telah meniru (mimikri) perempuan Eropa baik dalam sikap, gaya, bahasa, ataupun pemikirannya. 

Perempuan-perempuan yang terpinggirkan dapat mengartikulasikan suaranya untuk melawan ketidakadilan dan mempertahankan hak-haknya sebagai perempuan. 

Pemutarbalikkan keadaan atas konstruksi perempuan Dunia Ketiga yang telah menjadi korban kolonialisme telah disejajarkan dengan perempuan-perempuan Dunia Pertama uyang dapat bersaing dengan kaumlaki-laki sehingga mereka tidak mengalami penindasan atau penjajahan. 

Perempuan Dunia Pertama merupakan perempuan terdidik ala Barat dengan kesadaran akan politik identitas dan politik agensi. Hal ini membuat mereka memilki kemampuan menerobos akses hegemoni yang menindas. 

Akan tetapi, perempuan Dunia Ketiga adalah perempuan yang tidak terdidik dan kesadaran politik identitas-nya, dalam konteks sekarang, telah dirampas dengan daya global, dengan sebutan globalisasi. 

Banyak perempuan Dunia Ketiga menjadi terserap daya global ini dan tercerabut dari akarnya. Banyak intelektual perempuan Dunia Ketiga adalah produk pencerabutan ini seperti tokoh Nyai Ontosoroh.

Nyai Ontosoroh sebagai produk Dunia Ketiga telah mengalami penjajahan dari sistem kolonial. Ia pun harus bersaing dengan kaum laki-laki Eropa ataupun dengan perempuan produk Dunia Pertama. 

Oleh sebab itu, ia harus dapat mengembangkan dan memposisikan diri sebagai superior supaya tidak tertindas atas kekuasaan mereka. Dalam kajian poskolonial, aspek penjajah dan terjajah merupakan dua hal yang saling mendefinisi dan mempengaruhi pencitraan antara satu dan yang lainnya. 

Kaum penjajah menganggap dirinya lebih superior dan berhak melakukan justifikasi kepemilikan dan penjajahan atas hak-hak orang lain, sedangkan kaum terjajah berhak untuk dijajah karena defisiensi, kebodohan, dan subordinasi mereka yang permanen dan alamiah.

Adanya diskursus kolonial tersebut tidak terlepas dari pencitraan akan sesuatu yang dikatakan sebagai Timur atau the other sebagai bangsa yang bodoh, tidak beradab, dan pusat kegelapan. 

Selain itu, koloni juga difeminisasikan, dainggap pasif, permisif, eksostis, misterius, dan menggoda secara seksual.  Sesuatu yang dikatakan feminin tidak akan menjadi feminin jika tidak ada pembandingnya. 

Oleh karena itu, Barat memposisikan dirinya sebagai maskulin yang aktif, dominan, heroik, rasional, dan asketis. Barat selalu ingin berkuasa atas Timur dan menganggap dirinya lebih baik dariapada Timur. 

Akibat kolonialisme tersebut telah menjamah ranag gender dan menimbulkan dampak buruk bagi kaum perempuan yang terkonstruks memiliki sifat femininitas yang dapat dijajah oleh kaum laki-laki yang identik dengan sifat maskulinitas.

Namun, Pramoedya Ananta Toer mengangkat martabat kaum perempuan pribumi atau perempuan Dunia Ketiga pada masa kolonial yang identik dengan kaum rendah dan dipandang sebelah mata oleh sistem patriarki dan sistem kolonial. 

Pram mengubah image mengenai perempuan pribumi tersebut dengan cara meniru kebudayaan perempuan Eropa untuk dapat menentukan kehidupannya sendiri. Sifat femininitas yang dimiliki kaum perempuan pribumi diiringi dengan sifat maskulinitas untuk dapat bersaing dan masuk ke ranah publik. 

Peran ganda pun telah dilakukannya dengan baik, mereka berperan di ranah domestik yang telah menjadi kodrat: melahirkan, mengurus anak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga, dan merekan pun berperan di ruang publik untuk mencari nafkah dan bekerja di luar untuk menghasilkan perekonomian yang akan membuatnya menjadi makhluk yang mandiri.

Usaha perlawanan perempuan pribumi untuk mendapatkan tempat di wilayahnya sendiri telah mendapatkan respon dari kaum laki-laki di sekelilingnya dan sosial masyarakat. 

Selain itu, mereka pun dapat menunjukkan pada masyarakat yang telah terhegemoni oleh aturan dan adat yang menyudutkan kaum perempuan dengan sikap dan pemikiran yang lebih modern. 

Nyai Ontosoroh yang sejak awal novel tetralogi Buru Bumi Manusia telah menjadi sorotan utama bagi kaum feminis untuk dijadikan pelopor perempuan pribumi yang menjadi seorang nyai dapat mengubah image negatif menjadi positif. 

Pram meneruskan perjuangan Nyai Ontosoroh untuk melawan sistem patriarki dan sistem kolonial sehingga dapat menyelamatkan perempuan lainnya dari penindasan pada novel ASB.

Daftar Pustaka

Dewi Cadraningrum Soekirno, Perempuan Indonesia 'bukan' Perempuan Jawa, (www.uscrib.com, diakses pada tanggal 3 Mei 2009).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun