Sejak usia 7 tahun ia sudah terlihat sebagai anak yang keras kepala. Berbagai upacara adat banyak sekali ia tidak suka. Masalah mitos dan hal-hal yang berbau mistik sangat ia benci. Ia termasuk anak perempuan satu-satunya yang memberontak. Pola pikir yang modern dan terbuka, sangat bekembang lebih-lebih setelah ia memasuki bangku kuliah. Ia banyak berdikusi dengan berbagai kalangan dan dengan berbagai perspektif. Wacana tentang budaya dan agama terus berkembang dalam hidupnya. Berbagai buku ia baca dan tentu hal ini juga menamba wawasanya tentang budaya.
Ketika kita membaca cerpen La Runduma, kita akan menemukan penolakannya terhadap upacara posuo secara tersirat dan berbagai pertanyaan terhadap tuhan makna sebuah keperawanan. Hal ini menujukan wujud keterbukan dan pola pikir modern dari pengarang.
"Kau anak baik."
"Tidak, Riwa. Aku hanya pura-pura menjadi anak baik-baik sebab ritual ini membuatku bertambah menjadi kanak-kanak dibandigkan menjadi dewasa."Â
Dari kutipan dialog dalam cerpen "La Runduma" terlihat bahwa terdapat penolak terhadat sebuah ritual budaya.
...Apalah artinya perawan Tuhan? Di balik cinta memang ada pengorbanan meski itu haram karena dilarang Agama.
Kutipan di atas tentu ekpresikan wujud keterbukaan pola pikir pengarang terhadap sebuah arti keperawanan. Dari kedua kutipan diatas memperlihatkan bahwa pengarang mencoba mendeskontruksi pola pikir masyarakat dengan mempertanyakan hal yang sesungguhnya tabu yaitu mempertanyakan arti keperawanan kepada Tuhan.
Memasuki tubuh Oka dalam tubuh Johra dalam cerpen La Runduma, jelas kita dapat melihat pemberontakan batinnya. Beberapa kesamaan tersebut bila dirumuskan sebagai berikut:
No.
Wulan RatnaningsihÂ
Johra