Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Kembali Hermeneutik: Tradisi Ngaben di Bali dalam Cerpen "Mati Salah Pati" Karya Gde Aryantha Soethama

4 November 2021   09:03 Diperbarui: 4 November 2021   09:05 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hermeneutik: Tradisi Ngaben di Bali dalam Cerpen "Mati Salah Pati" Karya Gde Aryantha Soethama        

            Secara etimologis kata "hermeneutik" berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti "menafsirkan". Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai "penafsiran" atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Sehingga Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.

            Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa, yaitu berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa. Bahkan seni yang dengan jelas tidak menggunakan sesuatu bahasa pun berkomunikasi dengan seni-seni yang lainnya juga menggunakan bahasa.

            Setiap kata tidak pernah tidak bermakna. Meskipun kita juga tahu bahwa arti kata-kata itu bersifat konvensional (berdasarkan kesepakatan bersama) atau perumusannya tidak mempunyai dasar logika, namun pada kenyataannya kata-kata itu tidak pernah dibentuk secara aksidental saja atau asal-asalan. Hermeneutik adalah cara baru untuk "bergaul" dengan bahasa.

            Bahasa menjelmakan kebudayaan manusia. Hendri Bergson menyatakan "bahwa bila seseorang memahami bahasa suatu negara, dapat dipastikan ia tidak akan mungkin benci terhadap negara itu. Sebab, bila kita mampu memahami suatu bahasa, kita memahami segala sesuatu tentang negara tersebut". Bahasa  adalah medium yang tanpa batas yang membawa segala sesuatu di dalamnya.

Ada 3 tahap dalam menganalisis Hermeneutik menurut Gadamer antara lain yaitu:

1. Verstehen

            Dilihat dari teks, penderitaan yang dialami Pekah Landu disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

  1. Pekah Landu yang Sudah Tua

Salah satu penderitaan yang dialami Pekah Landu yaitu bermula dari sadarnya Pekah Landu yang sudah mulai tua dan akan menghadapi kematiannya. Sebagai orang yang sudah tua, Pekah Landu sudah mulai memilikirkan tentang kematiannya. Hal ini disebabkan Pekah Landu yang semakin memikirkan tentang tua dan hanya hidup sendiri tanpa pendamping hidup dan anak-anaknya yang sudah dewasa dan sudah membina rumah tangganya sendiri perlahan mulai meninggalkan Pekah Landu sendiri. Seperti terlihat pada kutipan berikut: Pekah Landu selalu menggigil membayangkan dirinya mampus karena pikun, buta dan kolok. Ia tahu, tak ada yang suka dibebani hidup seorang kakek seperti dirinya.(baris 5-7)

  1. Upacara Ngaben yang Memberatkan

Penderitaan Pekah Landu tidak berhenti sampai situ, ketika ia sudah sudah siap dan menunggu kematiannya, ia mulai cemas memikirkan siapa yang akan membiayai upacara Ngaben tersebut. Sebagai orang Bali, Pekah Landu wajib untuk melakukan upacara kematian Ngaben di Bali memang menggunakan banyak uang, misalnya saja orang yang memiliki status sosial lebih tinggi akan melakukan upacara ngaben secara besar-besaran dan meriah. Upacara Ngaben sendiri adalah upacara pembakaran mayat orang yang sudah meninggal. Adapun kutipannya: Orang mati harus diupacarai, mesti diaben, mayatnya dibakar, abunya dibuang ke laut. Upacara ngaben perlu biaya jutaan rupiah. Dari mana ia memperoleh uang sebanyak itu? (baris 13-14)

  1. Perlakuan Anak-anaknya Terhadap Pekah Landu

Tokoh Pekah Landu pada cerpen Mati Salah Pati juga menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari anak-anaknya, menantu dan cucu-cucunya sendiri. Karena perlakukan keluarganya itulah yang menyebabkan Pekah Landu berusaha mencari uang untuk biaya Ngabennya ketika ia meninggal dunia nantinya. Anak-anak Pekah Landu seolah-olah lupa akan balas budi mereka terhadap ayahnya, Pekah Landu. Kutipannya adalah: "Apa? Pekah? Kolot amat sih! Jangan minta dipanggil pekah dong! Kakek, gitu!" ujar cucunya yang sulung. Pekah landu kurang suka dengan cucunya tersebut karena mereka tidak mau memanggilnya "Pekah".

  1. Mati Salah Pati

Mati Salah Pati merupakan mati ditabrak di jalan raya yang memang merupakan aib besar. Pada kematian seperti itu biasanya mayat korban dilarang dibawa pulang dan harus langsung ke kuburan karena dianggap mengotori desa. Karena sadar Pekah Landu tidak memiliki biaya untuk membiayai ngaben dirinya, maka Pekah Landu memilih untuk mati salah pati. Ia mencari orang kaya yang akan menabrak dirinya di jalan raya, nantinya orang kaya itu akan membiayai upacara ngaben Pekah Landu ketika meninggal. Adapun kutipannya adalah: Ketika yakin cara itu yang akan ditempuhnya, ia pun mempersiapkan diri. "ini memang bunuh diri, tapi tak akan ada yang curiga". Ia kemudian mengunjungi anak-anaknya sebelum niat mati itu ia lakoni. (paragraf 12)

2. Auslegen

            Setelah melewati tahap Verstehen, kami sebagai pembaca mencoba mendalami cerita di atas. Semua peristiwa yang melatar belakangi penderitaan si tokoh Pekah Landu disebabkan oleh statusnya sebagai seseorang yang lahir dan besar di Bali dan menjadi masyarakat Bali seutuhnya. Ketika seseorang dilahirkan sebagai orang Bali, maka mereka harus mengadakan beberapa upacara adat di Bali. Ada upacara perataan gigi pada anak yang berusia 17 tahun, ada upacara ngaben dan lain-lain. Upacara ngaben adalah upacara orang mati dimana mayatnya dibakar kemudian abunya di buang ke laut. Upacara ngaben sendiri membutuhkan biaya yang cukup besar.

            Selain itu Pekah Landu juga memiliki status sosial yang kurang beruntung karena dalam cerita, Pekah Landu harus melakukan Mati Salah Pati agar supaya mayatnya kelak bisa diabeni tanpa biaya yang memberatkan anak-anaknya kelak. Dengan memilih Mati Salah Pati, Pekah Landu berpikir bahwa anak-anaknya tidak perlu lagi mengurus mayat dirinya apalagi harus mengeluarkan banyak untuk biaya ngaben nantinya. Hal-hal ini dapat tersirat lewat kalimat-kalimat yang terdapat di dalam teks yaitu:

Pekah Landu selalu menggigil membayangkan dirinya mampus karena pikun, buta dan kolok. Ia tahu, tak ada yang suka dibebani hidup seorang kakek seperti dirinya kalau nanti sampai harus terseret-seret dipapah pergi ke jamban untuk buang air.(baris 5-7)

Jenazah selalu menjadi barang yang merepotkan keluarga. Orang mati harus diupacarai, mesti ngaben, mayatnya dibakar, abunya dibuang ke laut. Upacara ngaben perlu biaya jutaan rupiah. Dari mana ia memperoleh uang sebanyak itu? Memang, ngaben akan menjadi tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan, akan diurus oleh anak-anaknya. Namun orang mati sebaiknya meninggalkan harta yang bisa disishkan untuk biaya ngaben. Dan Pekah Landu tak sedikit pun punya harya untuk diwariskan buat upacara ngaben. (baris 11-18)

Sepuluh are tanah tegal yang terakhir sudah terjual tiga tahun silam. Anaknya ketika, menggunakannya untuk modal mendirikan toko kesenian di Ubud. Sedikit sisanya untuk mengabeni istrinya setahun silam. Dan ia tidak memiliki harta benda sedikitpun sekarang. (baris 19-21)

 

3. Applikation

            Kami mencoba menganalisis masalah ini secara lebih dalam dengan pendekatan interkultural. Cerpen berjudul Mati Salah Pati karangan Gde Aryantha Soethama dimuat di harian kompas tanggal 12 Desember 1993. dari cerpen tersebut, pengarang yang memang orang asli Bali berhasil menggambarkan Bali pada tahun 1993-an dimana suasana Bali digambarkan sudah modern dengan adanya fitness centre di dalan cerpen tersebut. Gde Aryantha Soethama mencoba mengulas bagaimana upacara ngaben yang sangat populer di Bali. Ternyata ada fenomena penderitaan dibalik adanya upacara ngaben di Bali. Hal ini dikarenakan upacara ngaben merupakan upacara kematian dimana mayat orang yang sudah meninggal kemudian dibakar dan abunya dibuang ke laut itu memerlukan biaya jutaan rupiah. Memang bagi orang kaya upacara tersebut bisa dilaksanakan tanpa susah payah namun berbeda halnya bagi orang yang status sosialnya lebih rendah akan merasa kesulitan untuk membiayai upacara ngaben tersebut.

Ada beberapa hal yang perlu dibahas mengenai ngaben di Bali, yaitu:

  • Suasana, jikalau kita melakukan ngaben di Bali, 2 minggu sebelum hari H semua orang sudah sangat sibuk untuk mengurus upacara tersebut.
  • Tata cara, di Bali kita akan menemukan orang berbondong-bondong membawa tugu besar dari kayu.

Tata cara yang dilakukan adalah mayat diletakkan di dalam sebuah menara. Tingginya menara dipengaruhi oleh varna dari orang yang meninggal. Menara yang paling tinggi adalah menara untuk orang dari golongan Brahmana, yang lebih rendah adalah menara untuk golongan Ksatria dan Wesia, lalu menara yang paling rendah adalah untuk golongan Sudra. Menara itu kemudian dibawa ke tempat yang sudah disiapkan sebelumnya di kuburan. Anggota keluarga, teman-teman, dan tentu saja anggota desa berjalan mengiringi menara dengan diiringi oleh seperangkat gamelan. Di tempat pembakaran itu mayat diletakkan di dalam sebuah bangunan yang berbentuk binatang, misalnya lembu. Kemudian menara serta bangunan berbentuk binatang yang berisi mayat itu dibakar.

  • Peralatan, di Bali jauh lebih banyak banten, sajen dan keperluan-keperluan lainnya serta lebih banyak makanan yang harus disiapkan mengingat jumlah orang yang membantu sangat banyak
  • Biaya, ngejomplang mak krompyang yaitu menghabiskan banyak dana.

         Di Pulau Bali, mungkin upacara yang paling menarik adalah upacara pembakaran mayat atau disebut juga dengan Ngaben. Untuk orang Bali upacara pembakaran mayat merupakan salah satu upacara yang paling penting. Di tempat-tempat lain di Indonesia mayat orang yang telah meninggal biasanya dikubur, tetapi menurut orang Bali, orang yang telah meninggal sebaiknya dibakar atau diaben agar lima unsur penyusun badan kasarnya cepat kembali dan menyatu dengan asalnya.

           Upacara pembakaran mayat atau Ngaben di Bali adalah waktu yang bahagia terutama bagi anak- anak yang telah dewasa. Dengan melakukan upacara Ngaben terhadap orang tua, anak-anak tersebut merasa lega karena berhasil memperlihatkan salah satu pernyataan terima kasih kepada orang tuanya. Tetapi tidak semua orang yang meninggal dibakar. Ada juga yang dikubur terlebih dahulu karena beberapa alasan, misalnya belum cukup biaya untuk melakukan upacara Ngaben. Upacara itu boleh dilakukan beberapa tahun setelah orang itu meninggal.

            Jika kita kembali pada teks, bahwa upacara ngaben yang diinginkan tokoh Pekak Landuh adalah sebuah kemustahilan karena Pekak Landuh termasuk dalam golongan paling rendah yaitu Sudra yang tidak mampu untuk membiayai upacara ngaben dirinya sendiri.

"Mana mungkin mengumpulkan uang jutaan untuk ngabenkan jasadku sendiri." (Paragraf 4)

            Dengan demikian dapat diketahui, penderitaan Pekak Landuh berawal dari keinginanya untuk mati 'salah pati' dikarenakan tidak memiliki biaya untuk mengadakan upacara ngaben jika Pekak Landuh telah mati. Meskipun upacara ngaben adalah hal terpenting dalam hidupnya, tetapi keadaan yang telah memaksanya untuk tidak mampu mengadakan upacara tersebut. Oleh sebab itu, Pekak Landuh hanya bisa berharap ada orang yang akan membantu untuk membiayai upacara ngabennya jika dirinya sudah mati.

Daftar Pustaka

Imelda, Dinar dkk. 2002. Memahami Perasaan Etnis Non Pribumi: Sebuah Analisis Hermeneutik Terhadap Cerpen Clara karaya Seno Gumira Ajidarma. Jakarta: Makalah Teori Sastra.

Soethama, Gde Aryantha. 1993. Cerpen Mati 'Salah Pati'. Jakarta: Kompas.

_______. 1993. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun