Â
"Sudahlah bu, jangan menangisi ayah" kataku ketika melihat ibu melinangkan air matanya dengan pilu.
Aku bukannya membenci ayah tetapi aku tidak menginginkan ayah menyakiti ibu. Karena semenjak ayah tidak pernah pulang, ibu selalu mengurung diri di kamar bahkan ia setiap hari tak henti-hentinya berdoa agar ayah kembali. Aku selalu membesarkan hati ibu. Aku pun terkadang tidak tahan melihat penderitaan ibu.
Sekarang ayah kembali dengan berseragam TNI. Katanya, dia sudah menjadi anggota TNI yang menjadi aparat pemerintahan. Setahu aku, ayah hanya pergi untuk mencari nafkah, itu pun kata ibuku. Entahlah, kebohongan apa lagi yang akan ayah utarakan untuk menyakiti hati ibu. Begitu bahagianya hati ibu dengan melihat kedatangan ayah ke rumah. Segala sesuatunya dipersiapkan selayaknya isteri melayani suami. Memang aku akui, ayah masih menjadi suami ibuku. Tetapi apa tidak salah jika ayah tiba-tiba datang malam hari dan tidak kemungkinan akan pergi lagi pagi hari.
"Ibu senang ayah kembali. Lihat Rino, selalu menanyakan keadaanmu."
"Maafkan ayah bu. Ini 'kan demi bangsa dan negara. Ayah harus bertugas ke sana kemari sesuai perintah." Ayah bergelumit.
Ya, seperti yang aku kira ayah tiba-tiba harus pergi lagi setelah mendapatkan panggilan dari telepon genggamnya. Mungkin itu dari isteri keduanya, pikirku. Ibu begitu mempercayainya. Apa ibu tidak mencurigainya kalau-kalau ayah main dengan perempuan lain. Malah ibu begitu sopan mengantar ayah untuk pergi ke depan rumah.
"Rino, jaga ibumu baik-baik." Pesannya.
Selalu. Aku selalu menjaga ibu dari kebohonganmu ayah. Aku selalu menghapus air mata ibu ketika ibu harus mengenang bualan ayah.
"Ayah kapan pulang?"