Aku pun ketiduran di atas kursi dengan memegangi senjata itu. Lepas landas pikiranku dalam dunia lain. Tergusur ruhku dari raga ini. Menembus alam mimpi yang penuh dengan keharuan. Mencipta naskah hidup yang akan aku perankan dalam mimpi. Aku menjadi seorang tentara. Berperang melawan diriku sendiri. Aku pun tertembak dan jasadku pun berlumur darah. Ibu hanya menangis begitu pun dengan ayah. "Ayah aku menyayangimu." Lalu ayah memelukku.
"Rino, bangun nak."
"Ibu?"
"Kamu bermimpi tentang ayah? Ibu tahu kamu sebenarnya mencintai ayahmu."
"Tidak. Aku sangat membencinya. Aku benci ayah"
Aku lari ke kamar dengan bantingan pintu. Tak pernah aku berbuat seperti itu di hadapan ibu. Lekas aku membuka lagi pintu kamar dan langsung memeluk ibu.
"Maafkan aku bu!"
Waktu menikam rasa. Rasa pun menjadi hampa bersimbah gelisah. Matahari dipaksa untuk turun dan bulan disuruh diam di balik awan. Malam pun begitu cepat datang dengan gelap yang membawa kisah. Duduk di depan jendela. Berhamburan angin malam saling dorong untuk memasuki kamarku. Dan aku dengar selentingan suara televisi yang memberitakan bahwa Amerika terus membordir rakyat Irak. Berita itu pun memberikan kabar bahwa Amerika sudah menguasai wilayah-wilayah vital di Irak. Dan entah apa lagi. Oh ya, kabar terakhir aku mendengar bahwa pasukan tentara Indonesia yang dikirim ke Irak telah terkepung dan terkena pemboman pasukan Amerika hinga tewas. Yang aku dengar kemudian hanya separuh bulan yang berteriak ingin bebas untuk menerangi malam.
"Skenario Amerika-Zionis lagi yang akan memenangi peperangan di Timur Tengah." Gumamku.
"Rino, kamu sudah tidur?"
"Masuk bu. Ada apa?"