Saya sempat merasakan suhu yang sangat panas di Depok,Jawa Barat, sejak April-awal Juni 2022 lalu. Kondisi cuaca ini diikuti dengan hujan yang hampir setiap hari turun, disertai dengan angin yang sangat kencang.Â
Memang, sebagian masyarakat kita, beberapa waktu belakangan ini sempat merasakan adanya suhu ekstrim. Ada sebagian wilayah dengan kondisi yang sangat panas. Ada juga sebagian wilayah lain yang merasakan kondisi hujan lebat terus menerus yang tidak biasanya.
Perubahan iklim ini tak hanya ancaman bagi Indonesia, tetapi dunia secara keseluruhan. Sejatinya, seluruh masyarakat dunia berkepentingan menjaga agar suhu bumi tidak melewati ambang batas berbahaya.
Ancaman perubahan iklim ini sejak beberapa tahun belakangan menjadi pembahasan sejumlah pemimpin-pemimpin dunia. Bagaimana upaya bersama mengatasi peningkatan emisi karbon global.
Dengan Indonesia menjadi Presidensi G20 Â yang puncaknya KTT Bali pada November tahun 2022, Indonesia mengusung transisi energi sebagai salah satu dari tiga sektor prioritas yang dapat menjadi jalan keluar memulihkan kondisi dunia saat ini. Â Sebagai Presidensi G20, Indonesia ikut mendorong transisi energi menuju transisi ke energi baru dan terbarukan( EBT) dengan mengedepankan keamanan, aksesibilitas dan keterjangkauannya.
Transisi ke EBT dipercaya sebagai upaya strategis untuk mengurangi ancaman perubahan iklim sekaligus upaya mendorong penurunan emisi gas rumah kaca.
Sebagai bagian dari Presidensi G20, Bank Indonesia tentunya berperan besar untuk mendorong terciptanya iklim investasi hijau yang berwawasan lingkungan. Bank Indonesia melalui instrumen kebijakan makroprudensial yang dimilikinya, bisa memberikan dukungan pada perusahaan-perusahaan yang berinvestasi mengembangkan dan memanfaatkan EBT.Â
Saya sebagai masyarakat Indonesia dan bagian dari masyarakat global, jelas ikut bangga jika banyak perusahaan di Indonesia semakin populer memanfaatkan EBT dan berinvestasi yang berwawasan lingkungan.
Indonesia memiliki potensi sumber daya EBT yang sangat besar. Kita menjadi pemilik sumber panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan terbesar kedua di dunia juga dari sisi pemanfaatannya.
Ada lagi sumber daya air yang sangat-sangat melimpah dan belum optimal dimanfaatkan, energi matahari yang juga melimpah, sumber energi angin, Â dan juga sumber biomassa yang cukup besar.
Untuk biomassa, sebagian masyarakat di Kabupaten Mentawai sudah merasakan bagaimana menikmati energi listrik yang sumber bahan bakunya berasal dari bambu. Belum lagi biomassa sampah sudah mulai banyak digunakan sebagai pembangkit listrik di Indonesia. Â
Dengan sejumlah potensi energi baru dan terbarukan ini, rasanya Presidensi Indonesia G20, membuat Indonesia cukup percaya diri untuk dapat ikut berperan melakukan pemulihan yang kuat dan berkelanjutan secara global pasca Pandemi Covid-19. "Recover Together, Recover Stronger" dengan fokus pada tiga sektor prioritas, yakni: Penguatan Arsitektur Kesehatan Global; Transformasi Digital, dan; Transisi Energi.
Investasi Hijau
Melalui KTT G20 di Indonesia tahun 2022, ini merupakan momentum untuk mengajak dunia internasional bersama-sama memanfaatkan dan membuka peluang investasi hijau. Green investment melalui green energy untuk menuju green economy.
Lalu apakah ada perusahaan yang melakukan investasi hijau? Apakah ada perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen global untuk ikut menjaga lingkungan? Ternyata ada. Mereka ini bergabung dalam kelompok perusahaan-perusahaan yang disebut Renewable Energy 100 (RE100).
Dalam sebuah kesempatan beberapa tahun yang lalu, saya pernah mendapat pencerahan dari mantan direksi PLN. Dia berkisah soal perusahaan-perusahaan yang sudah 100% memanfaatkan energi terbarukan dalam operasional sehari-hari mereka.
Waktu itu beliau mengatakan sudah ada sekitar 160 perusahaan global yang tergabung dalam RE 100 ini, dan sekarang jumlahnya sudah lebih dari 250 perusahaan. Salut bagi perusahaan-perusahaan ini, memiliki komitmen luar biasa untuk mendukung ekonomi hijau dan menjaga lingkungan global dari ancaman pemanasan global.
Pastinya tidak mudah untuk memanfaatkan 100% energi yang berasal dari energi terbarukan. Ada tantangan investasi awal yang pastinya cukup mahal karena pembangunan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan saat awal, meski jangka panjang biasanya akan menguntungkan. Â Belum lagi soal konsistensi pemanfaatan energi itu sendiri, dan komitmen seluruh perusahaan tersebut untuk secara berkelanjutan menggunakan energi terbarukan.
Rasanya, sangat layak kalau kemudian perusahaan-perusahaan yang memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat global ini mendapat fasilitas berbeda dari yang lain. Perlu dukungan termasuk dari lembaga keuangan dan perbankan global bagi mereka.
Dari sisi insentif, Â Bank Indonesia juga bisa memberikan dukungan dengan insentif tertentu kepada bank. Misal, bagi bank yang memenuhi target menyalurkan kredit kendaraan listrik yang ramah lingkungan dan pembiayaan investasi serta pengembangan EBT, ditawarkan insentif pengurangan kewajiban giro wajib minum harian.
Selain itu, di Indonesia, dari sejumlah media yang saya baca, sekarang ini PLN  juga sudah memberikan dukungan untuk pemanfaatan energi terbarukan. PLN sudah mengeluarkan  Sertifikat Energi Terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC). Dengan adanya sertifikat itu,  pengguna listrik dapat menyatakan  sebagai penggunaan EBT dan berkontribusi dalam pelestarian lingkungan.
Indonesia Menuju Transisi Energi Terbarukan
Saya yakin, upaya mempercepat transisi menuju pemanfaatan energi baru dan terbarukan akan lebih cepat jika diinisiasi pemerintah. Melalui dukungan regulasi, pemberian fasilitas kemudahan mendapatkan pendanaan dengan fasilitas suku bunga, dan regulasi lainnya, akan bisa mempercepat upaya tersebut.
Dari sisi target, ada target penggunaan 23% EBT dari total energi nasional pada tahun 2025 mendatang. Sayangnya sampai 2021, capaian bauaran energi untuk EBT ini baru 11,5%. Capaiannya masih jauh.Â
Meskipun demikian, upaya mendorong penggunaan EBT, mungkin tidak cukup kalau hanya berasal dari pemerintah dan BUMN . Keterlibatan pihak swasta, jelas diperlukan. Beberapa pengembangan energi biomassa, angin, tenaga surya, dan matahari sebagian muncul dari inisiatif pihak swasta.
Untuk biomassa misalnya, saya pernah bertemu dengan pencetus gagasan pembangunan pembangkit listrik biomassa bambu di Mentawai yang mengungkapkan semangatnya ketika telah merealisasikan ide tersebut. Saya ikut merasakan kebahagiaannya untuk bisa berperan melistriki masyarakat di Kepulauan Siberut, Mentawai, Sumbar. Melistriki kawasan terpencil, sekaligus memberdayakan ekonomi lokal setempat. Program yang akan direplikasinya ke daerah lain, dengan sumber biomassa lainnya.
Tantangannya? Pendanaan. Inilah kemudian perlu kehadiran pemerintah, diantaranya melalui peran bank sentral. Bank Indonesia beberapa tahun belakangan memang terus mendorong investasi hijau melalui pembiayaan berwawasan lingkungan. Caranya, berupaya mendorong para pelaku industri keuangan untuk berkontribusi melakukan pembiayaan proyek yang berwawasan lingkungan. Investasi hijau.
Dengan kebijakan di bidang makroprudensial yang akomodatif, Bank Indonesia dapat ikut mendorong perbankan berperan lebih besar lagi memberikan porsi pembiayaan investasi EBT. Tentunya dengan sejumlah insentif yang diberikan untuk mempercepatnya.Â
Dengan demikian, Indonesia mungkin dapat berkontribusi lebih cepat terhadap net-zero emission dunia melalui transisi EBT. Â Sekaligus mengajak masyarakat global melalui dorongan pembiayaan ke EBT oleh bank sentral masing-masing negara dunia untuk bersama-sama melakukan penurunan emisi gas rumah kaca.
Manfaat lain transisi EBT Â dengan upaya menjaga lingkungan untuk menurunkan emisi karbon adalah peluang jual beli kredit karbon. Proyek-proyek investasi hijau, berluang menghasilkan kredit karbon yang bisa dijual. Â Kegiatan ini akan melibatkan pihak pembeli, penjual, dan lembaga perdagangan karbon yang salah satunya sudah ada marketplacenya.
KTT G-20 yang tengah berlangsung saat ini di Indonesia adalah momentumnya. Upaya pemulihan pasca-pandemi Covid-19, sebagaimana tema yang diusung yakni "Recover Together, Recover Stronger", salah satunya bisa mewujud dengan upaya bersama melakukan transisi ke EBT.
Upaya bersama terutama melalui dukungan pembiayaan, tentu akan sangat besar manfaatnya. Lebih jauh lagi, penciptaan iklim investasi hijau akan menarik lembaga keuangan internasional melakukan pembiayaan ke Indonesia. Lembaga keuangan internasional, terutama yang ahdir dalam KTT G20 Â kini sudah semakin peduli terhadap pembiayaan yang bersifat green investment.
Kebanggaan menjadi Tuan Rumah KTT G20 dan Potensi Devisa
Sebagai orang Indonesia, saya merasa bangga dengan Presidensi G20 Indonesia. Â Sejak 1 Desember 2021 hingga November 2022, Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20. Â
Pertama kalinya kita  dipercaya memegang Presidensi G20 sejak lahirnya forum tersebut di tahun 1990. Serah terima atau handover Presidensi G20 Indonesia dilakukan pada 31 Oktober 2021, saat KTT G20 di Roma, Italia.Â
Jelas ini sangat membanggakan, mengingat G20 merupakan forum internasional. Forum kerjasama multilateral yang terdiri atas 19 negara plus Uni Eropa. Â Mewakili kekuatan ekonomi dan politik internasional, karena anggotanya terdiri dari 80% PDB dunia, 75% ekspor global, dan 60% populasi global.
Selain soal kebanggaan sebagai bangsa Indonesia untuk melihat Indonesia dipercaya memegang Presidensi G20, ada manfaat lain tentu yang bisa kita dapat.
Kegiatan KTT G20 ini berlangsung di Indonesia. Artinya, kita berkesempatan menjadi tuan rumah yang baik untuk menjamu para delegasi dunia yang tergabung di G20, tamu undangan, plus organisasi keuangan, perdagangan, tenaga kerja, serta kesehatan internasional. Ada sekitar 180 rangkaian kegiatan utama yang dilakukan sebagai rangkaian KTT G20.
Jelas ini peluang sangat besar bagi kita bangsa Indonesia untuk menujukkan kepada dunia Internasional, bagaimana wajah Indonesia yang sesungguhnya. Potensi-potensi seperti apa yang bisa digali sebagai peluang investasi dari Indonesia. Terlebih dengan hadirnya sejumlah lembaga keuangan dan perdagangan internasional dalam KTT G20.
Satu lagi, ada potensi devisa masuk yang cukup besar bagi Indonesia. Tambahan devisa jelas akan membantu memperkuat cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Kementerian Luar Negeri dalam website resminya, dinyatakan bahwa dalam setiap KTT G20 dapat menghasilkan pemasukan devisa bagi negara tuan rumah sekira $100 juta atau setara Rp1,48 triliun. Itu berdasarkan pengalaman Presidensi Turki, Argentina, Tiongkok, dan Jepang yang mencatat jumlah kunjungan delegasi internasional bisa mencapai lebih dari 13 ribu.
Lebih jauh lagi, penambahan pemasukan devisa ke Bank Indonesia sebagai pengelola devisa negara, tentu dapat untuk ikut mendukung kegiatan perdagangan luar negeri dan transaksi internasional lain, termasuk untuk pembayaran utang luar negeri Indonesia.
Saya dan kita semua tentunya berharap, penyelenggaraan KTT G20 di Indonesia bisa berjalan baik dan lancar. Juga harapan suksesnya  Presidensi G20 Indonesia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H