Mohon tunggu...
D. Hardi
D. Hardi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lahir di fiksiana sewaktu bulan terbelah dan sepoi angin mengembuskan sarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Percakapan Ringan di Senja yang Memerah

22 Maret 2018   17:22 Diperbarui: 23 Maret 2018   17:24 2072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percakapan ringan

"Aku sedang merunut almanak peristiwa reformasi, apakah bapak salah satu saksi?"

Aku hanya seorang tukang pintu, nak. Pekerjaanku memastikan sebuah pintu dapat tertutup dan terbuka sama baiknya. Tapi aku bukanlah pengukir pintu. Jika kamu mengetuk sebuah pintu, pastikan ia tuan rumah dan kamu sedang bertamu. Pintu yang macet bermula dari engsel yang berkarat atau kendur. Saat itulah kamu akan mengingat jasaku. Namun aku tak memiliki mata kunci. hanya sebuah gerinda untuk meratakan kayu.

"Apa bedanya dengan pengukir pintu?"

Mereka hanya mempercantik muka pintu. Mengukirnya dengan presisi dan estetika. semakin bagus penampilannya ia akan semakin mahal. Semakin sulit juga kau dekati, karena pemilik pintu ini bukanlah orang yang sembarangan. Rumahnya jadi semacam kastil. semakin eksotis, dan mistis.

"Aku hanya temukan sedikit petunjuk di kamus lama."

Mungkin kamusmu sudah menua, sudah banyak lupa.

"Menurutmu aku harus kemana mencari jejaknya?"

Cobalah sesekali melihat genangan mata di setiap Kamis senja.

"Kau bisa mengantarku?"

Kalian saja yang muda, saya sedang sibuk mengubur batu, membuat jendela.

Pada senja yang memerah

yang tertinggal pada senja yang merah

adalah pendar ingatan

pada setiap kelok labirin

yang membujur

senyap senyummu

diantara menara

masjid, kuil, gedung pustaka

dan raksasa lainnya

yang berdiri kaku dan membiru

pada makar yang mengancam

di punggung reyot dipan abah

di antara iblis berjubah

yang menggoda lisan

para filsuf bayaran

pada potongan sajak

kehilangan

jejak para perindu

yang menyimpan bara

pada sekam yang telah berselimut salju

pada sesap ujung

wewangi doa seorang paderi

yang melanglang limbung

sehela abu

dan kau tebar

di laut mati

gentayangi pesan untuk kembali

pada peraduan istana pasir

yang terisak laku resik

semewah ketabahan martir

taman kota mungil

hidroponik

suratan pena pada prosa

tentang akhir cerita

yang tak kuasa berakhir sendiri

di luar niscaya

dan kau masih tekun bercerita pada gulita:

yang tertumpas pada senja yang merah

adalah getir langit

yang tak mampu naungi

serpih anak awan

terburai silih mengasingkan

adalah genangan kecil

murni matamu

yang ingin kuselami

sejak azali

meski bulirnya bermuara

ke ufuk yang tak terukur

meski sang fajar

tenggelam bentuk di palung terjauh,

melebur

(Bojongsoang, 2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun