Refleksi Ranah Publik Habermas pada ranah publik virtual
Sebagai seorang filsuf terpenting pada paruh kedua abad ke-20 dan sebagai pemikir sosial dan politik yang sangat berpengaruh, Habermas dikenal dengan teori sosial kritis yang dikembangkan oleh Frankfurt School. Habermas termasuk generasi kedua Institut Frankfurt, mengikuti generasi pertama dan tokoh pendiri seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse. Habermas adalah filsuf Jerman terpenting yang masih hidup saat ini dan salah satu ahli teori sosial terpenting di dunia. Sebagai pewaris pendiri Mazhab Frankfurt, bersama Max Horkheimer dan Theodor Adorno, Jurgen Habermas adalah salah satu nama pertama yang sering muncul saat penyebutan teori kritis. Pengaruhnya, seperti pengaruh tokoh kuat lainnya, meluas ke seluruh ilmu sosial dan humaniora.
Salah satu pokok pemikiran Habermas yang paling terkenal dan berkontribusi dalam ilmu sosial adalah tentang Public Sphere atau Ranah Publik yang tercermin di tulisannya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere (Strukturwandel der ffentlichkeit). Karya ini juga merupakan disertasi doktoralnya yang diterbitkan pertama kali di Jerman pada tahun 1962 dan kemudian diterbitkan dalam bahasa inggris di tahun 1989 dan dicetak kembali di beberapa edisi lainnya.
Karya ini merupakan disertasi Habermas yang menelusuri kembali kemunculan dan perkembangan ranah publik borjuis - yakni, ranah yang berbeda dari negara dan di mana warga negara dapat mendiskusikan isu-isu yang menjadi kepentingan umum. Dalam menganalisis transformasi historis bidang ini, Habermas menemukan konsep yang sangat penting untuk perdebatan saat ini dalam teori sosial dan politik. Habermas berfokus pada gagasan liberal tentang ranah publik borjuis seperti yang muncul di Eropa pada periode modern awal.
Ranah Publik sendiri menurut Habermas diartikan sebagai perantara antara ranah privat ekonomi dan keluarga dan otoritas publik seperti pemerintah dan pengadilan. Â Seperti yang dikatakan Habermas (1989:72), "Ranah publik borjuis dapat dipahami di atas segalanya sebagai ranah orang-orang pribadi yang berkumpul bersama sebagai sebuah publik; mereka segera mengklaim ranah publik yang diatur dari atas melawan otoritas publik itu sendiri, untuk melibatkan mereka dalam perdebatan mengenai aturan umum yang mengatur hubungan dalam ranah pertukaran komoditas dan kerja sosial yang pada dasarnya diprivatisasi tetapi relevan secara publik. Media konfrontasi politik ini aneh dan tanpa preseden historis: penggunaan alasan publik oleh masyarakat". Â Ruang publik menggabungkan masyarakat sipil dengan negara dengan berfokus pada gagasan tentang kepentingan publik sebagai perbedaan dari kepentingan pribadi. Hal itu dianggap berada di dalam masyarakat sipil dan memang dalam jenis privasi khusus yang diizinkan dan dihargai.
Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, Habermas menunjukkan bagaimana salon, kafe, dan kelompok sastra Eropa modern memuat sumber daya untuk mendemokratisasi ruang publik pada abad ke 18. Habermas berpendapat bahwa dalam masyarakat modern, elemen sistematik mendominasi elemen kehidupan-dunia (lifeworld) dan timbul masalah sosial patologis seperti keterasingan. Sistem sosial yang kuat seperti bangsa dan sistem ekonomi kapitalis mendominasi masyarakat dan dengan demikian mengasingkan manusia. Menurut Habermas (1989:27) dalam Susen (2011), ranah publik borjuis dapat dipahami di atas segalanya sebagai ranah orang-orang yang bersatu sebagai publik. Habermas mencoba membalikkan tatanan ini dengan mengembalikan keutamaan penalaran "praktis" kehidupan dunia atas penalaran instrumental atau fungsional dari sistem sosial melalui pembentukan pengertian komunikasi berbasis rasionalitas.
Bagi habermas, ruang publik pasca feodal diinkubasi dalam rumah pribadi masyarakat borjuis abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Di rumah-rumah ini, pengunjung berkumpul untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat sipil yang sedang berkembang yang didorong oleh relokasi pekerjaan dari dalam rumah tangga ke arena perdagangan umum. Habermas berpendapat bahwa penafsiran diri atas ruang publik tersebut terbentuk dalam konsep "opini publik". Ruang publik borjuis akhirnya terkikis karena perubahan ekonomi dan struktural. Batasan antara negara dan masyarakat menjadi kabur, mengarah pada apa yang disebut Habermas sebagai refeudalisasi masyarakat. Negara dan masyarakat menjadi terlibat di bidang masing-masing; lingkungan pribadi runtuh ke dalam dirinya sendiri. Konsep opini publik dan perbedaan ranah publik dari ranah privat menjadi mekanisme untuk menegaskan kekuatan baru kelas menengah. Karenanya, ruang publik terdiri dari individu-individu pribadi yang keterkaitan sosialnya melampaui batas-batas kehidupan pribadi mereka. Dalam pengertian ini, ruang publik dapat dikatakan sebagai ekspresi yang disosialisasikan dari otonomi yang dibentuk secara timbal balik oleh individu-individu. Individu adalah otonom yang bukan dalam isolasi tetapi dalam hubungan satu sama lain.
Dari perspektif sosiologis, (Calhoun 1992b: 6) dalam Susen (2011) mengatakan pentingnya ruang publik terletak pada potensinya sebagai modus integrasi masyarakat. Koordinasi kehidupan sosial tidak dapat dilakukan oleh individu yang sepenuhnya mandiri dan mengacu pada diri sendiri yang mendapati diri mereka tenggelam dalam alam pribadi yang tertutup rapat dan dipertahankan secara otomatis. Menurut definisi, koordinasi sosial dilakukan oleh subjek yang saling berhubungan dan saling bergantung yang ditempatkan dalam ranah publik yang dinegosiasikan secara simbolis dan secara material. Organisasi musyawarah yang terjadi di ruang publik dapat dianggap sebagai ekspresi dari sosialisasi intrinsik dari kondisi manusia. Untuk itu dapat dikatakan bahwa tidak ada integrasi kemasyarakatan tanpa adanya ruang publik. Sebagaimana keberadaan setiap individu tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat, keberadaan ruang privat tidak dapat dibayangkan tanpa adanya ruang publik. Ranah publik adalah ranah individu yang saling bersosialisasi yang mampu menciptakan ruang solidaritas integratif dan ranah individu yang saling mengkritik mampu membangun ruang refleksivitas yang diskursif.
Selain bersumber pada buku The Structural Transformation of the Public Sphere, pemikiran Habermas tentang ranah publik juga banyak dikembangkan oleh para peneliti-peneliti hingga saat ini. Misalnya pada abad ke 19, Oskar Negt dan Alexander Kluge (1993) berpendapat segera setelah buku Habermas terbit, pemikiran ini mencakup banyak kontribusi potensial yang mencerminkan pengalaman pekerja dan kelompok subordinasi lainnya. Tema tersebut kemudian dikembangkan, terutama yang berkaitan dengan bias gender, tetapi juga ras, etnis, orientasi seksual, agama, gaya budaya, dan dimensi lainnya. Hal ini membuat Negt dan Kluge memperkenalkan "counterpublics" yang menentang konstruksi hegemoni publik yang dominan. Negt dan Kluge melihat ranah publik proletar yang bertindak sebagai kontra publik bagi ranah publik borjuis di negara-negara kapitalis Eropa.
Selanjutnya di abad 20, pemikiran Habermas tentang ranah publik terus berkembang di era perkembangan digital. Di era digitalisasi ini, lanskap komunikasi dan interaksi semakin dinamis. Dengan hadirnya internet, maka saluran komunikasi menjadi beragam. Hal ini kemudian membuat konsep ranah publik juga semakin berkembang. Internet sebagai medium komunikasi virtual menghadirkan kesempatan kepada konsumen infromasi untuk juga dapat berperan sebagai produsen informasi. Ini menunjukkan bahwa, tidak seperti ruang publik tradisional, bentuk baru musyawarah publik mungkin tunduk pada determinisme teknologi. Ini menghasilkan perspektif baru tentang imperialisme budaya dan ilmuwan sosial seperti Henry Jenkins (2006) berpikir bahwa revolusi digital memberdayakan warga negara dengan lebih banyak kebebasan berekspresi dan lebih banyak pengaruh pada lingkungan budaya dan politik mereka.
Dengan hadirnya internet sebagai medium komunikasi, definisi ranah publik Habermas kemudian dapat mengalami perubahan. Flichy (2011:53) menjelaskan fenomena ini dengan fakta bahwa batas antara ruang privat dan publik sulit ditentukan. Awalnya warga mengumpulkan informasi dan bertukar pengalaman pribadi mereka. Pada fase kedua, pengguna internet lain dapat menyusun informasi ini dalam jaringan yang terkoordinasi dan terkadang terlembaga untuk mendorong perubahan politik. Ini menggambarkan bagaimana individu secara progresif berkontribusi pada gerakan sosial yang besar. Demokratisasi ini kemudian diyakini Flichy mempengaruhi parameter fundamental dari ranah publik, karena pengguna internet tidak tunduk pada segala bentuk kontrol atau gate keeping. Publikasi mereka cenderung kurang dapat diandalkan, dan argumen mereka kurang rasional. Oleh karena itu, ranah publik online ini gagal dalam menghadapi dan mendiskusikan isu-isu politik secara terorganisir dan kritis. Namun kualitas ruang publik mungkin tidak terpengaruh selama debat dimoderatori oleh para profesional ekspresi publik. Hal ini setidaknya mengindikasikan seperti ranah publik normatif abad kedelapan belas, era digital memberikan kesempatan kepada individu untuk mengekspresikan subjektivitas mereka, yang merangsang keterlibatan politik mereka.
Mided (2000) pada Thurlow (2004:88) menyebutkan para peneliti CMC telah menempatkan gagasan Habermas tentang internet sebagai ruang 'virtual' di mana warga negara dapat mengartikulasikan politik berbasis masalah yang bertentangan dengan dominan suara ideologis dan politik. Douglas Kellner (1998) melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa internet telah menghasilkan ranah dan ruang publik baru untuk informasi, debat, dan partisipasi yang berpotensi untuk memperkuat demokrasi dan meningkatkan penyebaran gagasan kritis dan progresif.
Nasrullah (2012) mengatakan virtual space tidaklah sama dengan tipe media tradisional seperti radio, televisi atau penerbitan dan juga tidak pula sejenis dengan pengertian public spaces secara tradisional dalam kehidupan nyata. Ruang siber memberikan dan menyediakan fasilitas bagi para penggunanya untuk menemukan cara baru dalam berinteraksi. (Camp and Chien, 2000). Realitas di ruang siber inilah yang kemudian menjadikan internet sebagai ruang terbuka bagi siapa saja untuk berinteraksi atau sekadar mengkonstruksi diri dan siapapun yang melakukan koneksi maka secara otomatis ia sudah menjadi bagian dari atau anggota masyarakat jejaring (network society).
Dikatakan oleh Nasrullah (2012), public space tidak kemudian serta merta sama dengan public sphere sebagaimana dimaksud oleh Habermas. Karena, fungsi internet bisa dikatakan hanya sebagai medium yang dapat digunakan untuk berdiskusi atau bertukar ide maupun gagasan, hingga membangun wacana sebagai jawaban terhadap realitas politik. Namun, internet bisa menjadi medium yang dihubungkan dengan realitas masyarakat apa saja, tergantung dari pengguna yang mengaksesnya. Kemudian, Papacharissi (2002:11) menjelaskan "A virtual space enhances discussion; a virtual sphere enhances democracy". dari sisi penggunanya, internet telah mentransformasikan perannya secara beragam. Menurut Habermas (2006), peran internet telah memperluas sekaligus memfragmentasikan konteks komunikasi.
Di era digital, pembahasan tentang ranah publik pada saat bersamaan menjadi semakin relevan dan semakin problematis. Selama bertahun-tahun, konsep ruang publik telah diterapkan dan dikaitkan dengan isu-isu dalam teori media yang beragam seperti komodifikasi dan konsumerisme, kepemilikan dan budaya media. Validitas dan relevansi kritik post-modern terhadap konsep ruang publik Habermas tidak dapat disangkal, namun konsep ruang masih sangat berharga bagi teori media saat ini. Hal ini kemudian mengisyaratkan terjadinya komodifikasi pada ranah publik. Misalnya, awalnya menurut Habermas kemunculan pers dilandasi oleh komersialisasi partisipasi massa di ranah publik. Akibatnya, ranah publik yang 'diperluas' ini kehilangan banyak karakter politik aslinya yang mendukung komersialisme dan hiburan. Karakter ruang publik semakin dibatasi. Media saat ini lebih berfungsi sebagai kendaraan untuk menghasilkan dan mengelola konsensus dan mempromosikan budaya kapitalis daripada memenuhi fungsi aslinya sebagai organ debat publik. Hal ini membuktikan kondisi media massa saat ini, dimana menurut Habermas, media massa telah bermutasi menjadi organisasi kapitalis monopoli. Peran mereka dalam debat publik telah bergeser dari penyebaran informasi yang dapat dipercaya menjadi pembentukan opini publik.
Konsep ranah publik Habermas memberikan wawasan yang tajam tentang konstitusi normatif dan transformasi struktural ranah publik di era modern. Dengan merefleksikan implikasi normative ranah publik Habermas, bahwa pada dasarnya kekhususan normatif dari ranah publik borjuis berasal dari fakta bahwa ia memiliki potensi emansipatoris maka kita dapat melihat kolom komentar media sosial pada dasarnya menyediakan apa yang disebut public sphere. Hal ini untuk mengakui bahwa keberadaannya sangat bergantung pada kapasitasnya untuk mempromosikan keterlibatan sipil dalam proses komunikatif. Opini didalam ruang publik akan terbentuk opini publik sebagaimana yang terjadi didalam suatu diskusi pada kolom komentar di suatu pemberitaan media online.
Ranah publik dapat dikatakan masih hidup dan sehat, meskipun tidak akan pernah sama lagi. Wacana kedai kopi Habermas telah berkembang ke arah komunikasi yang dimediasi dalam jaringan elektronik: Masa depannya ada di media digital, yang menawarkan kemungkinan menarik karena jaringan digital meningkatkan dan mengubah struktur sosial. Dalam arti tertentu, ranah publik selalu virtual: maknanya terletak pada abstraksinya. Argumen klasik Habermas bahwa ranah publik kadang-kadang terancam oleh - laten - struktur kekuasaan yang mencoba menghambat dan mengontrol individu tidak diragukan lagi benar. Namun pada saat yang sama, kelompok dan individu memang dapat mencapai perubahan dengan tindakan komunikatif, dan teknologi komunikasi digital dapat memberdayakan mereka untuk melakukan sesuatu. Negara demokratis bagi Habermas terwujud apabila terdapat sebuah ranah publik yang netral bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, gagasan bahkan kritik atas kekuasaan.
Referensi
Calhoun, C. (2017). Facets of the Public Sphere: Dewey, Arendt, Habermas. Institutional Change in the Public Sphere.Â
Flichy, Patrice. 2011. The Internet Imaginaire. USA: The MIT Press.
Habermas, J. (1989 [1962]). The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge, MA: MIT Press.
Jenkins, Henry. 2006. Convergence culture: Where old and new media collide. New York University Press: New York.
Kellner, D. 1998. Intellectuals, the new public spheres, and techno-politics. In C. Toulouse & T. W. Luke, (Eds.), The politics of cyberspace: A new political science reader (pp. 167--186). New York: Routledge.
Nasrullah, Rulli. 2012. Internet dan Ruang Publik Virtual, Sebuah Refleksi atas Teori Ruang Publik Habermas. Rulli Nasrullah. Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah. Jurnal Komunikator. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Negt, O. & Kluge, A. (1993 [1972]). The Public Sphere and Experience. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.
Papacharissi, Z. (2002). The Virtual Sphere: The Internet as a Public Sphere. https://doi.org/10.1177/14614440222226244.
Susen, S. 2011. Critical Notes on Habermas's Theory of the Public Sphere. Sociological Analysis, 5(1).
Thurlow, C., et al. (2004). Computer Mediated Communication: Social Interaction and the Internet. Sage Publications.
Van Dijck, Jose. 2013. The culture of connectivity: A critical history of social media. USA: Oxford University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H