Isu pemindahan ibu kota sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi tanggal 26 agustus 2019 lalu isu tersebut memang tengah menguat dari keseriusan pemerintahan Jokowi untuk memindahkan ibu kota negara ke Provinsi Kalimantan Timur.
Memang tidak sepenuhnya pindah, karena pemerintah hanya memindahan pusat administrasi pemerintahan pusat saja, sehingga Jakarta tetaplah menjadi pusat, bisnis, budaya perdagangan dan ekonomi,
Ide pemindahan ibukota memang beralasan dimana beban kota Jakarta dan pulau Jawa sudah terlalu berat dimana pulau jawa sudah memiiki jumlah penduduk 150 juta jiwa, yang mana adalah hampir 60 persen populasi rakyat Indonesia berada di pulau Jawa.
Akan tetapi sesungguhnya ada alternatif selain dari pemindahan Ibukota, karena meskipun ide pemindahan Ibukota tidak sepenuhnya salah, tetapi memindahkan ibukota sama saja meindahkan system karena sebagai Negara kesatuan dimana ada perangkat pemerintahan pusat di situ akan ada mirgrasi secara besar-besaran.
Sehingga pemindahan Ibukota memang tidak bisa dilakukan secara terburu-buru karena butuh tahapan dan proses yang cukup panjang serta kajian akademik yang perlu lebih rinci.
Sebenarnya tanpa harus memindahkan Ibukota, pemerintahan pusat dan Pemprov Jakarta bisa kok menata kembali Jakarta yang selama ini di anggap telah sakit, karena lonjakan populasi yang dikarenakan Jakarta selama ini menjadi pusat dari segala-galanya.
Berikut adalah 5 langkah yang masih bisa diakukan untuk mengobati sakit Jakarta :
Pembatasan usia kendaraan
ini adalah kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang cukup menuai pro dan kontra dimana beberapa waktu lalu Gubernur Anies mengeluarkan instruksi Gubernur untuk membatasi usia kendaraan pribadi maksimal 10 tahun sejak tahun perakitan pabrik.
Menurut saya meskipun menuai pro dan kontra, kebijakan dari Pemprov Jakarta tersebut beralasan dimana polusi udara yang sudah sangat menghawatirkan dinilai akan memperburuk kualitas udara dari Jakarta itu sendiri.
Semakin baru kendaraan biasanya daya buang emisinya semakin baik karena tekhnologinya semakin berkembang, meskipun dinilai diskriminatif akan tetapi kebijkan  Pemda Jakarta ini sekaligus bisa membatasi kendaraan yang beredar karena saat ini harga kendaraan baru khususnya mobil cukup mahal.
Sehingga selain bisa mengontrol tingkat polusi Jakarta, kebijakan pembatasan usia kendaraan juga bisa menghalau pergerakan kendaraan pribadi  di kota Jakarta dan membuat masyarakat akan lebih memilih menaiki kendaraan umum ketimbang kena tilang jika kendaraannya sudah berusuia di atas 10 tahun.
Memperkuat jaringan angkutan massal hingga ke pelosok Jabodetabek
Memerkuat jaringan angkutan massal sebenarnya adalah cara lama yang pernah dilakukan oleh Negara Jepang terhadap Tokyo yang mengalami lonjakan populasi yang luar biasa. Mengacu dari kesuksesan negara Jepang dalam menata lonjakan populasi kendaraan pribadi dengan memperkuat angkutan massalnya saya rasa cukup masuk akal untuk mengobati sakit Jakarta selama ini.
Masalah utama Jakarta selama ini selain lonjakan populasi adalah kemacetan lalu lintas yang menyebabkan kerugian hingga puluhan triliun setiap tahunnya, sehingga masalah angkutan massal adalah yang sebenarnya jauh lebih vital ketimbang pemindahan Ibukota.
Hingga kini di Jakarta perlahan membangun beberapa angkutan massal terintegrasi seperti LRT, MRT, Busway, bus pengumpan, Jaklingko. Dengan system angkutan Ok Trip karya mantan Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno yang kini bernama jJk lingko, maka sesunggguhnya mimpi kota Jakarta untuk memiliki angkutan massal yang mencakup hingga ke pelosok Jabodetabek bisa terwujud.
Pemprov Jakarta sebenarnya bisa lebih memperkuat angkutan massal yang memakan bahu jalan seperti contohnya busway layang Ciledug-Mampang yang mau tidak mau dengan termakannya sebagian bahu jalan untuk fondasi busway laying. Maka secara tak langsung membuat para pengguna kendaraan pribadi akan lebih memilih menggunakan kendaraan umum dalam hal ini busway ketimbang bermacet-macetan dengan kendaraan pribadi.
Percayalah dengan kuatnya jaringan angkutan massal di Jabodetabek, saya rasa pola pikir warga Jakarta pun akan berubah selayaknya penduduk Tokyo yang mayoritas lebih memilih angkutan umum ketimbang angkutan pribadi.
Jadi ibaratnya sulaplah Jakarta selayaknya Tokyo, dimana yang kita lihat bukan kemacetan di jalan tetapi padatnya torotoar jalan oleh masyarakat yang hendak menggunakan angkutan umum.
Perluas  ganjil genap
Ini sebenarnya kebijakan lama tetapi saya rasa kebijakan ini efektif sekali untuk membatasi pergerakan dan merubah kebiasaan orang Jakarta untuk memilih menggunakan kendaraan pribadi. Kebijakan ini mengacu pada plat nomor belakang kendaraan dimana sesuai tanggal ganjil dan genap.
Langkah Pemprov memperluas jangkauan ganjil genap saya rasa juga bisa menjadi langkah tepat untuk secara perlahan membuat orang-orang Jakarta untuk beralih ke penggunaan transportasi umum ketimbang kendarannya kena tilang karena plat nomornya ganjil ataupun genap.
Memindahkan sebagian pusat industry di Jabodetabek ke luar pulau jawa
Saya rasa ini juga adalah cara Negara Jepang untuk mengakali kepadatan industry yang ada di negaranya, Cuma bedanya jepang tidak memiki wilayah seluas Indonesia, sehingga jika pusat industry sudah penuh di Tokyo Jepang tidak memindahkan sebagian pabriknya ke dalam negeri tetapi keluar negeri.
Makanya tak heran di Indonesia banyak pabrik-pabrik Jepang yang melakukan ekspansi, bahkan di Tiongkok banyak juga pabrik-pabrik Jepang yang ekspansi karena ketersediaan lahan di Jepang yang menipis.
Nah, permasalahan Jakarta serupa Tokyo yaitu masalah ketersediaan lahan dan arus urbanisasi karena keberadaan pabrik-pabrik tersebut. Jakarta bisa mencontoh Jepang dimana dengan memindahkan sebagian pusat industrynya keluar pulau jawa, maka arus urbanisasi alias migrasi manusia ke Jakarta pun akan dapat di stop dan beralih ke kota-kota pusat industry baru tersebut.
Karena masalah terbesar Jakarta saat ini adalah arus urbanisasi yang menyebabkan lonjakan populasi setiap tahunnya. Di saat ini ada kota-kota potensial di luar pulau Jawa yang sudah terbangun dan cukup baik untuk menjadi kota pusat industry pengganti Jakarta.
Ada Medan, Makassar, Balikpapan, dan Jayapura. Keempat kota tersebut dari 4 pulau berbeda. Saya rasa dengan mengembangkan Makassar sebagai pusat industry di pulau Sulawesi, mengembangkan Balikpapan sebagai pusat industry di pulau Kalimantan, mengembangkan Medan sebaai pusat industry pulau Sumatera. Serta mengebangkan Jayapura sebagai pusat industry pulau Papua jauh lebih baik untuk meningkatkan pemerataan antar pulau.
Intinya dengan membagikan sebagian pusat industry yang ada di Jakarta kepada 4 kota antar pulau tersebut maka akan lahir 4 jakarta baru di setiap pulau terbesar tersebut.
Selain mengurangi beban kota Jakarta dengan arus urbanisasi yang dikarenakan padatnya industry di Jakarta, pemerataan pembangunan pun jadi lebih terwujud karena beban Jakarta berkurang dan rakyat sekitar ke-4 kota tersebut pun memiliki lapangan pekerjaan.
Intinya dengan memindahkan sebagian pusat industry di Jakarta maka bisa saja nantinya lahir 4 "jakarta baru" di sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan papua.
Revitalisasi sungai
Selain lonjakan populasi, permasalahan Jakarta adalah banjir yang merupakan akibat dampak dari lonjakan populasi tersebut. Jika pada poin diatas memindahkan sebagian pusat industry di Jakarta ke luar pulau jawa bisa menekan arus urbanisasi di Jakarta.
Maka dengan merevitalisasi sungai di Jakarta juga mampu memulihkan sakit kota Jakarta yang selama ini menjadi langganan dari banjir kiriman. Pemprov DKI Jakarta sudah lama mencanangkan program ini, bahkan di era Gubernur Fauzi Bowo ada proyek banjir kanal timur yang terletak di Jakarta timur yang secara langsung mampu menekan volume banjir Jakarta.
Saya rasa jika Pemprov DKI Jakarta dan dibantu Pemerintah Pusat mampu merevitalisasi secara serius sungai-sungai di Jakarta yang selama ini sudah tercemar bahkan ada yang sudah tak lagi berfungsi sebagai daerah aliran sungai. Maka sakit Jakarta sedikit banyak bisa terobati.
Jakarta memang sudah lama menjadi pusat dari peradaban Indonesia, sehingga wajarlah jika Jakarta telah sakit. Memang secara usia Jakarta sudah terlalu tua dan gemuk sebagai ibukota, tetapi apakah secara langsung kita akan melupakan perannya di masa lalu begitu saja?
Anggap saja Jakarta itu ibu kita, karena selama ini Jakarta sudah banyak berperan dalam mewarnai perjalananan ekonomi, politik, dan budaya kita. Memang Jakarta banyak kekurangannya, tetapi alangkah baiknya jika kita coba obati dulu Jakarta sebagai "sang ibu" yang sebenarnya akan ramah dan tak sakit lagi jika kita bisa memulihkan serta merawatnya kembali.
Namun jika ternyata sang ibu memang sudah tidak bisa di obati, barulah berpikir untuk pindah dan biarkan sang ibu berisitirahat total dari hiruk pikuk politik yang selama ini dia alami.
Salam damai selalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H