Mohon tunggu...
Muhammad Dendy
Muhammad Dendy Mohon Tunggu... Seniman - menulis adalah obat hati

"saya adalah orang yang selalu ingin belajar dan selalu ingin mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri saya"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada 2018 dan Kesadaran Politik Masyarakat Sumatera Utara

6 Januari 2018   19:23 Diperbarui: 6 Januari 2018   19:37 5489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Letjen. Edy Ramayadi dan Djarot Saiful Hidayat. Foto Istimewa (waspada.co.id

Kamis 4 Januari 2018 lalu Megawati telah Menunjuk Djarot Saiful Hidayat sebagai calon Gubernur Sumatera Utara 2018-2023 dari PDIP. Dengan masuknya nama Djarot seakan membuat Pilkada Sumatera Utara akan bercita rasa nasional menginggat Djarot adalah tokoh nasional.

Mengapa ia saya sebut tokoh nasional? Karena siapapun yang pernah memimpin DKI Jakarta, maka ia adalah tokoh nasional. Apalagi nama Djarot kian besar tak terlepas dari kejayaan pamor Ahok di masa lalu sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Djarot dan Ahok ibarat satu paket, sehingga nama Djarot melambung tak terlepas dari perannya mendampingi Ahok ketika memimpin DKI Jakarta. Bukan hanya Djarot yang membuat Pilkada Sumatera Utara bercita rasa nasional.

Jauh hari sebelum Djarot masuk dalam pertarungan Pilgub Sumatera Utara 2018, nama Letjen. Edy Ramayadi sudah lebih dulu populer dan turun gunung ke sumatera utara. Tidak sulit bagi Letjen. Edy untuk memperkenalkan namanya pada masyarakat Sumut, karena Edy adalah Pangkostrad sekaligus Ketua Umum PSSI yang tidak hanya dikenal oleh masyakarat Sumut, tetapi seluruh masyarakat Indonesia.

Secara rekam jejak peran letjen. Edy pada rakyat Sumut memang tidak asing, dimana sebelum menjadi Pangkostrad pada 2015, Letjen. Edy pernah menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) I Bukit Barisan.

Kodam yang bermarkas di kota Medan tersebut memang cukup strategis, sebagai salah satu, bahkan Kodam terbesar yang ada di Indonesia yang membawahi Daerah Militer pada Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau. Posisi Panglima Kodam I Bukit Barisan memang paling strategis tidak hanya pada masyarakat Sumatera Utara, tetapi hingga ke empat provinsi yang berada dalam Kodam terbesar di Indonesia tersebut.

Sehingga sudah jelaslah, nama letjen. Edy sudah sejak lama populer, tidak hanya di Sumut, tetapi pada sebagian rakyat Pulau Sumatera.

Antara Djarot dan Letjen. Edy serta kesadaran politik masyarakat Sumatera Utara

Kedua nama diatas memang sudah mulai menjadi perbincangan publik, dimana tidak hanya pada kalangan masyarakat Sumut, tetapi hingga masyarakat Indonesia. Itulah bukti kekuatan ketokohan Djarot Saiful Hidayat dan Letjen. Edy Ramayadi yang seakan membuat Pilkada Sumatera Utara 2018 rasa nasional.

Sebagai eks. Warga Sumut, saya merasakan selama beberapa masa, Persaingan Pilkada Sumut tak pernah sepanas ini. Karena selama ini warga Sumut mayoritas apatis dengan keadaan provinsi, yang disebut-sebut sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dari jumlah penduduk dan ekonomi di luar Pulau Jawa.

Sedikit flash back, untuk kota Medan sebagai ibukota provinsi saja sudah beberapa kali walikotanya tersangkut kasus korupsi. Jika berbicara jalan mulus, jangan harap warga Medan akan mendapatkan jalanan yang mulus. Jalanan kota Medan yang berlubang sana-sini adalah pemandangan lumrah kota Medan.

Padahal sebagai kota terbesar ke-3 di indonesia, Medan seharusnya tidak seperti itu, sungguh sangat ironis dengan fakta tersebut dimana dengan kota berpenduduk lebih dari 2 juta jiwa dan kini telah beranjak maju. Seharusnya Medan tak kalah dengan kota-kota besar di Pulau Jawa.

Apalagi sejak 2008 beberapa kali Gubernur Sumut terkena kasus korupsi, belum lagi Walikota Medan yang juga pernah terkena kasus korupsi. Mungkin hal-hal tersebut lah yang membuat warga Sumut agak apatis dengan kondisi Sumut setiap pilkada berlangsung.

Tetapi tidak dengan tahun ini, kemunculan Ltetjen. Edy dan Djarot seakan membuat Pilgub Sumut 2018 terasa berbeda dan mulai bergairah. Dengan masuknya nama Djarot dan Letjen. Edy, ternyata membuat Pilgub Sumut mulai bergelora.

Tetapi ada suatu catatan, dengan tidak bermaksud mengkerdilkan Djarot, masuknya nama Djarot sebagai calon "non putra daerah" masih menyisakan tanda tanya. Apakah tak ada orang Batak atau Melayu yang berkualitas sebagai Putra Daerah?

Jika saya diberikan kesempatan untuk menjawab, jika PDIP ingin berkomitmen memajukan Sumut melalui tangan putra daerahnya. Maaf bukannya rasis, saya rasa memilih calon dari Suku Batak atau Melayu jauh lebih tepat, jikalau pun bersuku Jawa, ambillah Puja Kesuma alias putra Jawa Kelahiran Sumatera.

Karena hanya putra daerahlah yang jauh lebih mengerti watak dan segala permintaan masyarakat Sumut. Akan lebih tepat jika Nama-nama kader PDIP seperti Maruarar Sirait, atau Efendi Simbolon saya rasa cocok dimajukan. Karena mereka adalah putra daerah asli Sumut yang mengerti permasalahan dan kultur budaya masyarakat Sumut. Apalagi keduanya adalah salah satu tokoh daerah yang mumpuni.

Kemunculan nama Djarot memang menarik dan membuat Pilkada Sumut lebih berwarna dan saya yakin warga Sumut, adalah masyarakat yang paling prural dan siap menerima pemimpin dari kalangan manapun.

Tetapi kemunculan nama Djarot juga bisa menjadi suatu ganjalan, karena itu tadi karena Djarot bukanlah putra daerah. Apalagi untuk Sumut masih banyak tokoh-tokoh daerah yang mumpuni. Coba bayangkan dan hitung ada berapa tokoh-tokoh asal Sumut yang sukses pada pentas nasional.

Kemunculan Letjen. Edy dan Djarot memang sangat menarik, karena seakan membuat warga Sumut hilang dari rasa apatisnya karena ada 2 tokoh nasional yang bertarung. Sehingga ada sedikit harapan untuk perubahan Sumut kedepannya.

Djarot memang bagus rekam jejaknya karena pernah menjadi Wagub DKI Jakarta dan Gubernur Defenitif selama 6 bulan DKI Jakarta menggantikan Ahok. Selain itu Letjen. Edy Ramayadi juga sangat baik karena lebih mengerti rakyat Sumut sebagai putra daerah Sumut. Apalagi ia pernah menjabat Panglima Kodam I Bukit Barisan yang bermarkas di Kota Medan, serta kepopuleran namanya dalam pentas nasional beranjak ketika menjabat Pangkostrad sekaligus Ketua Umum PSSI.

Masuknya nama kedua tokoh nasional tersebut dalam pilkada Sumut, tentu akan berpengaruh besar terhadap kesadaran politik masyarakat Sumut yang selama ini meluntur karena apatis terhadap Gubernur-Gubernurnya terdahulu.

Djarot dan Edy berpotensi "head to head"?

Aroma menginginkan pemimpin baru dari kalangan masyarakat Sumatera utara mulai tercium setelah masuknya nama kedua tokoh nasional yaitu Letjen. Edy dan Djarot dalam Radar Pilgub Sumut 2018.

Mengapa? Jika melihat peta Politik yang ada pada saat ini, peralihan dukungan Golkar dan Nasdem kepada Letjen. Edy Ramayadi adalah contoh dimana sepertinya parpol mencium masyarakat Sumut menginginkan pemimpin baru.

Jika melihat peta politik dukungan parpol saat ini, Hanya Letjen. Edy yang sudah mengantongi dukungan gemuk untuk melaju pada Pilkada Sumut 2018. Letjen Edy telah mengantongi dukungan Gerindra 13 Kursi DPRD, PKS 9 Kursi, PAN 6 Kursi. Serta tambahan dari Nasdem 5 kursi dan Golkar 17 kursi.

Peralihan dukungan Nasdem dan Golkar tentu berpotensi membuat Tengku Ery Nuradi tak bisa melaju jika melihat peta saat ini. Apalagi Nasdem adalah partai tempat Tengku Ery bernaung, tentu hal yang mengejutkan Nasdem dan Golkar yang selama ini memiliki kedekatan dengan Tengku Ery mengalihkan dukungannya kepada Letjen. Edy.

Itulah mengapa saya sebut ada suara masyarakat Sumut ingin memiliki pemimpin baru diluar Pertahana (sedang menjabat). Sehingga tidak bermaksud mendahului, bisa saja Tengku Ery batal melaju.

Jika memang benar peta politik kedepan seperti saat ini, dan Tengku Ery tak bisa meraih parpol lain untuk berkoalisi, maka peluang "head to head"antara Djarot-Edy cukup besar. Apalagi kedua tokoh ini makin populer namanya belakangan ini.

Djarot memang lebih mudah memenuhi dukungan untuk maju, karena PDIP yang memiliki 16 kursi DPRD akan lebih mudah mencari kursi tambahan dari parpol lain. Dimana hanya butuh 4 kursi lagi untuk Djarot maju secara aman agar genap 20 kursi.

Sehingga tidak berlebihan jika saya sebut, head to head Djarot- Edy bepeluang besar terjadi, apalagi sepertinya Djarot dan Edy memiliki akar massa yang kuat. Djarot memiliki akar massa loyalis Ahok pada masyarakat Sumut dan tak ketinggalan masyarakat keturunan Jawa yang bermukin di Sumut semenjak lahir. Serta Edy memiliki akar rumput masyarakat Sumut yang rindu akan figur militer untuk memimpin Sumut.

Jika benar head to head ini terjadi, maka Pilgub Sumut akan sangat bergairah karena kedua tokoh tersebut sama-sama tokoh nasional, yang tentu memiliki catatan rekam jejak dan pengalaman yang mumpuni dan populer di tingkat nasional.

Masyarakat Sumut adalah masyarakat yang terbuka dan apa adanya, dan saya yakin siapapun calonnya dan apapun perbedaan pandangan politiknya. Jika sudah berdendang bersama di kedai dan bernyanyi (Kalau Nyanyi orang-orang asal Sumut Juaranya) sudah pasti rasa perdamaian dan persatuan terjalin kembali. Apapun suku dan agamanya.

Salam Damai Selalu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun