Pada Kamis malam 27 Juli 2017 kemarin, ada peristiwa sejarah yang banyak mengundang tanda tanya dan kebebohan masyarakat dan publik luas tentang pertemuan sejarah antara SBY dan Prabowo yang berlangsung hangat tadi malam. Memang dari beberapa isu yang bocor ke masyarakat SBY dan Prabowo hanya ingin membahas tentang Presidential Threshold yang banyak menuai kontroversi, karena tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan Pileg dan Pilpres 2019 dilaksanakan secara serentak.Â
Akan tetapi dibalik pembahasan tentang Presidential Threshold dan langkah apa saja yang dilakukan Demokrat dan Gerindra sebagai partai oposisi untuk mengawasi dan mengevaluasi pemerintahan Jokowi di parlemen kedepannya. Tentu saja pembahasan tentang pilpres 2019 menjadi salah satu pembahasan dalam pertemuan tersebut, bahkan dalam beberapa media massa dan obrolan-obrolan warung kopi, nama Prabowo dipastikan akan disandingkan dengan Agus Yudhoyono yang merupakan putra tertua SBY. Akan tetapi hal tersebut belumlah pasti, karena seperti yang kita ketahui SBY memiliki sikap yang peragu dalam mengambail segala keputusan.Â
Tentu saja banyak spekulasi-spekulasi yang muncul ke permukaan tentang kemungkinan-kemungkinan bersandingnya nama Prabowo dan AHY yang telah menjadi viral diberbagai media sosial, bahkan meme Prabowo-AHY menjadi viral di segala media sosial. Akan tetapi itu semua masih batas kemungkinan, karena seperti yang kita ketahui, sikap partai demokrat yang selalu menjadi partai tengah semenjak Pilpres 2014 hingga terakhir Pilkada DKI 2017 kemarin, dapat kita jadikan acuan seperti apa arah politik SBY dan Partai Demokrat. Dalam artikel saya kali ini, saya akan menjelaskan skenario politik atau langkah politik apa saja yang akan dilakukan oleh poros Hambalang dan Cikeas kedepannya, setelah adanya pertemuan SBY-Prabowo.Â
Skenario Pertama : Pertemuan SBY dan Prabowo bertujuan untuk memperkuat Barisan Partai Oposisi di Parlemen (DPR-RI)
Pada pertemuan malam tadi, Prabowo menjelaskan bahwa peraturan tentang Presidential Threshold yang telah disetujui oleh kelompok partai pendukung pemerintah yang merupakan mayoritas di DPR, tidak sesuai dengan Konstitusi. Bahkan prabowo menyebut keputusan itu adalah lelucon politik. Terdapat makna kekecewaan dari Prabowo dan SBY, bahkan SBY juga ikut bicara tentang keprihatinannya terhadap kondisi bangsa saat ini yang telah menggunakan kekuasaan secara berlebihan tanpa terkontrol.Â
Demokrat dan Gerindra tentu saja dalam hal ini menolak Presidential Threshold 20 persen sehingga memiliki satu pandangan, yaitu dengan tegas menolak peraturan tersebut. Pada skenario pertama ini Demokrat dan Juga Gerindra memiliki kekecewaan yang sama tentang Presidential Threshold 20 persen yang dinilai seperti menghambat calon-calon lainnya untuk ikut bertarung. Karena untuk mengusung pasangan Capres dan Cawapres, setiap partai harus melakukan koalisi besar yang mau tidak mau harus mempunyai dukungan 20 persen di DPR.Â
Demokrat dan Gerindra dirasakan sulit untuk disatukan, meskipun sama-sama merupakan partai yang berada diluar pemerintahan, akan tetapi perbedaan pandangan politik antara SBY dan Prabowo sulit untuk disatukan. Bisa saja dalam pertemuan tadi malam Demokrat bersama Gerindra ingin membentuk barisan oposisi bersama dua partai lainnya yang ikut walk out, yaitu PAN dan PKS untuk mengawasi Pemerintahan Jokowi yang masih tersisa sekitar 1,5 tahunan lagi.Â
Dari pernyataan SBY yang prihatin terhadap penggunaan kekuasaan yang berlebihan, yang tentu saja itu diarahkan ke rezim Jokowi pada saat ini. Serta prabowo yang menyebut Presidential Threshold sebagai lelucon politik, adalah bentuk kekecewaan bersama yang dirasakan oleh SBY dan Prabowo. Sehingga pada skenario pertama ini, Demokrat dan Gerindra ingin membentuk poros oposisi yang kuat di DPR untuk mengkritisi, maupun mengevaluasi segala kebijakan Jokowi selama sisa masa jabatan Jokowi hingga 1,5 tahun kedepan.Â
Skenario Kedua : Pertemuan SBY dan Prabowo bertujuan untuk saling memperkuat dan mendukung antara Kubu Cikeas dan Hambalang
Masih ingatkah pada Pilkada DKI 2017 lalu, Poros Cikeas yaitu Agus-Silvy, dan poros Hambalang Anies-Sandi. Kedua poros yang merupakan sama-sama penantang pasangan Ahok-Djarot, yang banyak kalangan menganggap sebagai perwakilan dari poros istana pada Pilkada DKI 2107. Ahok-Djarot sebagai pasangan pertahana dan tentu saja memiliki dukungan kuat dari poros istana, "dikepung" oleh kedua pasangan penantang, yaitu Agus-Silvy dan Anies-Sandi. Agus-Silvy dan Anies-Sandi seperti bersatu untuk menumbangkan Ahok-Djarot dikala itu. Bahkan dalam beberapa kesempatan mereka tampak hadir secara bersamaan dalam salah satu acara ibadah dimasjid istiqlal.Â
Tentu saja dari akrabnya kedua pasangan penantang Ahok-Djarot tersebut menyiratkan, bahwa mereka memiliki satu visi, yaitu menumbangkan pasangan pertahana. Lalu jika kita melihat dari ideologis dan keagamaan, mereka sama-sama calon Gubernur/Wakil Gubernur yang beragama Islam. Kedua kubu seperti saling mendukung dan saling mendorong, sehingga terbukti ketika Pilkada DKI 2107 putaran kedua suara Agus-Silvy hampir 100 persen beralih ke Anis-Sandi.
Tentu saja pada skenario kedua ini, kejadian pada Pilkada DKI 2017 diatas akan kembali terulang, dimana pada akhirnya akan terdiri dari 3 pasangan calon yaitu dari poros istana (Jokowi), Poros Cikeas (AHY), dan Poros hambalang (Prabowo). Kesepakatan saling mendukung antara poros cikeas dan poros hambalang seperti untuk memperkuat kuat oposisi yang saling mendukung, meskipun kedua kubu oposisi ini tidak berada dalam satu perahu. Secara matematis politik, jika Pilpres 2019 mendatang hanya di isi oleh 2 calon Presiden/Wakil Presiden, maka pertarungan pilpres 2019 akan sama seperti pilpres 2014 lalu.Â
Dan tentu saja pastinya Head to Head antara Jokowi dan Prabowo kembali terulang, meskipun dengan wakil yang berbeda. Pada Pilpres 2014 lalu selisih suara antara Jokowi dan Prabowo mencapai 6 persen, yaitu Jokowi-JK 53,15%, dan Prabowo-Hatta 46,85%. Dengan posisi Jokowi yang pada saat itu hanya sebagai penantang dan bukan incumbent (sedang berkuasa) saja sudah unggul, bagaimana lagi jika pada saat ini, dengan posisi jokowi yang sedang menjabat dan tentu saja sudah jauh lebih matang dalam hal berpolitik dibandingkan pada saat Pilpres 2014 lalu.
sehingga jika Head To Head antara Prabowo dan Jokowi kembali terjadi peluang Jokowi untuk menang masih sangat besar. Sehingga pada skenario kedua ini bisa saja antara poros cikeas dan poros hambalang ingin saling mendukung agar masing-masing dari poros tersebut mengusung capres sehingga bisa memecah suara. Karena secara matematis politik jika Pilpres diikuti 3 pasangan calon, maka pola seperti Pilkada DKI 2017 lalu akan terulang, dimana masyarakat yang anti Jokowi akan berkumpul menjadi pemilih Agus Yudhoyono, atau Prabowo.Â
Sehingga siapa saja diantara kedua capres dari kedua poros tersebut yang memasuki putaran kedua akan mendapatkan limpahan suara. Sebagai contoh jika Prabowo masuk putaran kedua, maka suara Agus Yudhoyono yang kalah diputaran pertama akan beralih ke Prabowo, begitu juga sebaliknya. Sehingga Pola Kampanye dan strategi politik Pilkada DKI 2017 lalu akan kembali terjadi, karena Pilkada DKI adalah barometer untuk mengukur kekuatan politik nasional. Sehingga mungkin saja apa yang terjadi pada pilkada DKI 2017 lalu dijadikan alat acuan bagi kedua poros tersebut untuk menghasilkan kedua poros penantang untuk "Memecah Suara".Â
Skenario Ketiga : Pertemuan SBY dan Prabowo bertujuan untuk melakukan koalisi pada Pilpres 2019 mendatang, sehingga akan melahirkan duet Prabowo Subianto-Agus Yudhoyono
Ini adalah skenario politik yang paling luas berkembang dimasyarakat luas, pertemuan SBY-Prabowo adalah untuk membahas tentang koalisi antara Gerindra dan Demokrat. Sehingga Prabowo dan Agus Yudhoyono yang merupakan putra sulung dari SBY akan bersanding pada pilpres 2019. Berbagai media massa baik cetak, elektronik, maupun media online ramai-ramai memberitakan duet Prabowo-Agus Yudhoyono. Asumsi-asumsi media massa tersebut tidaklah sepenuhnya salah, karena peluang koalisi antara Gerindra dan Demokrat masih sangat terbuka lebar. Jika Demokrat tetap ingin membentuk poros baru, partai yang paling mungkin untuk bersama demokrat adalah PAN.Â
Berdasarkan hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 2017 lalu, Demokrat memperoleh 10,19,% suara sedangkan PAN memperoleh 7,57% suara. Sehingga jika keduanya digabungkan hanya memperleh 17,76% suara yang masih belum mencukupi dari syarat minimun Presidential Threshold 20 persen. Meskipun Demokrat bisa merangkul PKB yang merupakan teman lamanya, akan tetapi berdasarkan peta politik saat ini poros cikeas masih belum mampu membetuk poros sendiri, karena dukungan suara parlemen yang masih dinilai kurang.Â
Sehingga tidak menutup kemungkinan Demokrat akan berkoalisi dengan Gerindra, jika dikalkulasikan suara Gerindra 11,81 %, sedangkan suara demokrat 10,19 %. Sehingga jika digabungkan akan menjadi 21,37, yang tentu saja sudah lebih dari cukup dari syarat minimum Presidential Threshold 20 persen. Dengan dukungan yang sudah melebih dari mencukupi untuk mengajukan capres atau cawapres, maka sangat terbuka Demokrat dan Gerindra satu suara untuk menjadi satu kubu dalam Pilpres 2019 mendatang, sehingga skenario ketiga ini mungkin saja terjadi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H