Pembahasan RUU pemilu saat ini masih berjalan alot di DPR, seperti telah difahami bersama RUU ini merupakan kitab suci dan kodifikasi UU pemilu yang mengkonsolidasi tiga UU ke dalam satu jilid naskah yaitu UU pileg, UU pilpres dan UU penyelenggara pemilu. Tidak dimasukannya UU pilkada ke dalam kodifikasi UU pemilu masih menyisakan banyak tanya di benak stakeholders pilkada di daerah, kemanakah arah kebijakan pilkada sesungguhnya? pertanyaan mendasar tersebut cukup membuat kening berkerut di benak para analis pemilu, betapa tidak paradigma pilkada yang mulai tertanam dalam satu mainstream sebagai bagian dari rezim pemilu nasional mengalami setback suatu arus balik ke belakang kembali ke arah rezim pemerintahan daerah berdasarkan putusan mahkamah konstitusi nomor 97/PUU-XI/2013 yang tidak tanggung di dalamnya mengandung tiga dissenting opinion hakim mahkamah, putusan tersebut menggambarkan pasang surutnya paradigma pilkada diantara dua rezim yaitu rezim pemerintahan daerah di awal kelahirannya dan rezim pemilu nasional dalam perkembangannya.
Rezim Pemerintahan Daerah (2005-2008)
Paradigma pilkada sebagai bagian dari rezim pemerintahan daerah berlangsung selama kurang lebih 4 tahun, periode ini ditandai dengan (1) kejayaan UU pemda No 32/2004 yang mengatur didalamnya praktik pilkada langsung, (2) sumber pendanaan pilkada dari APBD, (3) sengketa hasil pilkada diselesaikan di Mahkamah Agung, (4) administrasi pemilu mengikuti administrasi APBD, (5) munculnya akronim ”PILKADA” dan terminologi ”KPUD” (6) KPUD merupakan subordinasi dan bertanggungjawa kepada DPRD.
Posisi penyelengara pilkada yang bertanggungjawab kepada DPRD menjadi sangat rancu dan bertolak belakang secara diametral dengan praktik pilkada karena rezim penyelenggara pemilu menurut konstitusi adalah rezim pemilu nasional sebagaimana sifat dan kedudukan KPU sebagai primary state organmenurut pasal 22E UUD 1945 butir (5) bahwa ”pemilihan umum diselenggarakan olehsuatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Tafsir terhadap kata nasional, tetap dan mandiri berdasarkan original intent dari pasal tersebut mengarah pada rezim pemilu nasional sebagai lembaga permanen, mandiri dan independen di seluruh teritorial wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak bersifat sementara bertentangan dengan wacana yang mengemuka bahwa KPU Kab/Kota akan bersifat ad-hoc. Kerancuan kontruksi pilkada dalam naungan paradigma rezim pemda karena sandungan penyelenggara sebagai rezim pemilu nasional membawa perdebatan panjang dan arus baru untuk menyeret praktik pilkada secara paralel dengan penyelenggara sebagai bagian dari rezim pemilu nasional meskipun sesungguhnya konstitusi pasal 22E butir (5) menyebutkan tujuan pemilu secara tersurat ”pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, tidak termaktub didalamnya memilih kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/PUU-II/2004 yang membatalkan pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD dan menjaga marwah KPU sebagai lembaga negara yang mandiri dan independen menjadi sinyalemen akan berakhirnya perdebatan apakah pilkada masuk ke dalam rezim pemda atau rezim pemilu nasional yang kemudian benar-benar berakhir saat UU penyelenggara pemilu dilahirkan sebagai tindak lanjut putusan mahkamah tersebut.
Rezim Pemilu Nasional (2008-2014)
Paradigma pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu nasional berlangsung selama kurang lebih 6 tahun ditandai dengan (1) diundangkannya UU penyelenggara pemilu No.22/2007 dan revisi UU pemda menjadi No.12/2008 (2) sengketa hasil pilkada diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (3)administrasi pemilu mulai mengarah pada administrasi APBN (4) munculnya akronim ”PEMILUKADA” dan terminologi ”KPU Prov dan KPU Kab/Kota” (5) KPU Prov dan KPU Kab/Kota bukan subordinasi pemda maupun DPRD melainkan bertanggungjawab kepada KPU setingkat di atasnya dan kepada publik melaluipublic notice(6) sumber pendanaan pilkada masih dari APBD.Setelah praktik pilkada dan penyelenggaranya berjalan paralel dalam naungan paradigma rezim pemilu nasional, satu-satunya sandungan adalah sumber pendanaan yang masih mengandalkan APBD pemda, menjadikan rezim pemilu nasional ini tidak paripurna dan setengah hati karena pada saat akan diselenggarakan pemilukada KPU Prov dan atau KPU Kab/Kota harus mengemis kasih kepada pemda dalam hal pendanaan pilkada tentunya hal ini tetap mencederai kemandirian dan independensi penyelenggara.
Padahal pada periode ini pemilukada menemukan marwah dan jati dirinya dalam kontruksi demokrasi konstitusional, dimana MK memiliki peranan yang penting dan bertuah dalam menegakkan nilai-nilai luhur demokrasi, mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dalam kerangka keadilan substantif menilai proses sekaligus hasil dari suatu pemilukada, membawa suasana pemilukada di daerah yang berjalan prosedural dan kering makna ke dalam ruang sidang mahkamah yang khusuk, penuh khidmat dan bermakna, dalam suasana sidang inilah setiap detil proses pemilukada diuji, digali, dihargai dan dipertemukan dengan nilai-nilai, dalam labirin-labirin sidang ini pula hak-hak politik, hak konstitusional warga negara didekap, dihargai dan dimerdekakan, bukankah suasana kebatinan dalam berdemokrasi yang seperti ini yang hendak dibangun para formulator kebijakan di DPR ?
Sayangnya kemudian mahkamah konstitusi sendiri yang melepaskan kalung pilkada dari leher rezim pemilu nasional dan mengembalikan pilkada sebagai rezim pemerintahan daerah melalui putusan 97/PUU-XII/2013 dengan menjadikanoriginal intent pasal 22E butir (2) sebagai metode tafsir dan mengabaikan metode tafsirlainnya seperti misalnya metode leaving constitution.Entah apa yang ada di kedalaman batin para doktor dan profesor yang duduk di mahkamah hingga membiarkan semangat kemajuan dalam kontruksi demokrasi konstitusional diberikan kepada lembaga peradilan pemilu di masa depan yang belum jelas dasar hukum, substansi dan teknisnya, mungkinkah peradilan pemilu satu atap dibentuk hanya berdasarkan norma di dalam sebuah UU pilkada bukan berdarkan UU secara keseluruhan?
Sepanjang penelusuran penulis setidaknya terdapat 20 putusan mahkamah konstitusi yang menjadi yurisprudensi dan ikut serta mewarnai serta mendinamisasi kebijakan pilkada, mahkamah dengan kewenangan ultrapetita-nya pernah memformulasi norma pencalonan kepala daerah dari unsur perseorangan (Putusan No. 5/PUU-V/2007), mahkamah pernah membatalkan pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD (Putusan No. 072-073/PUU-II/2004), mahkamah pernah memberikan payung hukum partai politik non kursi dapat mengusung pasangan calon (Putusan No. 005/PUU-III/2005) mahkamah pernah memutus pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang, verifikasi ulang pencalonan dan memperkenalkan terminologi pelanggaran TSM-Terstruktur, Sistemik dan Massif (Putusan 41/PHPU.D-VIII/2008) mahkamah juga pernah mendiskualifikasi pasangan calon dan pemungutan suara ulang (Putusan No. 57/PHPU.D-VI/2008) bahkan mahkamah pernah menghapus larangan konflik kepentingan dengan petahana (Putusan No. 33/PUU-XII/2015) dan mahkamah memberikan payung hukum pilkada calon tunggal (Putusan No. 100/PUU-XIII/2015). Ke-semua contoh putusan tersebut baik yang berat dan ringan untuk dilaksanakan baik yang kontroversial maupun tidak, tetap dalam kerangka membawa semangat pilkada ke dalam arus demokrasi kontitusional yang memuliakan nilai-nilai fundamental hukum dan nilai-nilai luhur demokrasi. Dan yang jauh lebih penting mahkamah telah berhasil menjadi muara akhir dan tali kekang dalam menjinakkan dan meredam energi konflik pilkada sehingga konflik tersebut meskipun bersifat zero sum gametidak berkepanjangan terjadi di daerah.
Rezim Pemilihan (2015-sekarang)
Lantas setelah putusan No. 97/PUU-XI/2013 kemanakah sebenarnya arah kebijakan pilkada? setelah melalui dua rezim yang tidak sempurna, rezim pemda yang tersandung paradigma rezim nasional penyelenggara dan rezim pemilu nasional setengah hati yang tersandung kebijakan pendanaan pilkada dari APBD pemda, cara pandang hikmat kebijaksanaan yang telah ditempuh DPR adalah dengan memperkenalkan jalan tengah baru yaitu pilkada sebagai rezim pemilihan dengan lahirnya UU Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota No 22/2014 yang telah diveto oleh PERPPU No 1/2014 dan sekarang menjadi UU No 1/2015 beserta perubahanya yang menjadi dasar pilkada serentak. Ciri khas dari rezim pemilihan yaitu (1) didasarkan pada UU pilkada No. 1/2015 juncto No. 10/2016 yang terpisah dari UU pemda (2) administrasi pemilu sepenuhnya mengikuti APBN (3) sengketa hasil pilkada sementara menjadi kewenangan MK sebelum dibentuknya peradilan khusus pemilu (4) sumber pendanaan pilkada dari APBD dan dapat didanai dari APBN (5) munculnya terminologi ”PEMILIHAN” menggantikan terminologi ”PEMILUKADA” (6) KPU Prov dan KPU Kab/Kota tetap bertanggungjawab kepada KPU setingkat di atasnya dan kepada publik melaluipublic notice.
Jalan tengah yang diambil para formulator kebijakan di DPR ini merupakan kebijakan yang terbuka open legal policymengikuti sumber hukum utama pilkada dalam konstitusi yang sewaktu-waktu bisa berubah (pasal 18 UUD 1945 butir 4), juga merupakan kebijakan yang menggantung, tidak kembali ke masa lalu rezim pemerintahan daerah juga tidak sampai ke masa depan rezim pemilu nasional, namun demikian meskipun disebut rezim tersendiri rezim pemilihan, secara teknis lebih dekat kepada rezim pemilu nasional hal ini disebabkan karena telah dimasukannya pilkada ke dalam agenda pemilu serentak nasional tahun 2024 (UU pilkada) atau tahun 2027 (RUU pemilu) atau sebutan penulis sebagai pemilu 7 kotak suara, kotak suara untuk pemilihan (1)Presiden dan Wakil Presiden, (2)DPR, (3)DPD, (4)DPRD Prov, (5)DPRD Kab/Kota, (6)Gubernur serta Kotak Pemilihan (7)Bupati/Walikota, sehingga dalam kerangka pilkada serentak nasional sesungguhnya pemilihan kepala daerah bagian dari rezim pemilu nasional.
Terlepas dari jalan tengah yang menggantung ini, hal yang kritis dan krusial adalah bagaimana nasib UU pilkada No 10/2016 kelak setelah RUU pemilu ditetapkan? tentunya akan terdapat disharmoni norma dan terminologi antara UU pilkada dan UU pemilu sebagai konsekuensi tidak dimasukkanya UU pilkada ke dalam satu kodifikasi, satu standar dan satu kitab suci pemilu, sebagai konsekuensi perbedaan paradigma rezim yang diambil. Artinya kalau UU pilkada tidak dilakukan revisi penyesuaian sampai dengan berakhirnya gelombang ketiga pilkada serentak 2018 dan penulis berharap demikian, maka stakeholders pilkada dan pemilu harus lebih cermat memilah dan memilih penggunaan kedua UU tersebut dalam praktiknya apakah termasuk ruang lingkup pilkada atau ruang lingkup pemilu dalam tahapan yang beririsan, semoga disharmoni norma dan terminologi tersebut tidak menjadi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H