Mohon tunggu...
Denden Deni Hendri
Denden Deni Hendri Mohon Tunggu... Analis Pemilu dan Kebijakan Publik -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pasang Surut Paradigma Pilkada Diantara Dua Rezim

11 April 2017   22:36 Diperbarui: 12 April 2017   17:30 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

   Lantas setelah putusan No. 97/PUU-XI/2013 kemanakah sebenarnya arah kebijakan pilkada? setelah melalui dua rezim yang tidak sempurna, rezim pemda yang tersandung paradigma rezim nasional penyelenggara dan rezim pemilu nasional setengah hati yang tersandung kebijakan pendanaan pilkada dari APBD pemda, cara pandang hikmat kebijaksanaan yang telah ditempuh DPR adalah dengan memperkenalkan jalan tengah baru yaitu pilkada sebagai rezim pemilihan dengan lahirnya UU Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota No 22/2014 yang telah diveto oleh PERPPU No 1/2014 dan sekarang menjadi UU No 1/2015 beserta perubahanya yang menjadi dasar pilkada serentak. Ciri khas dari rezim pemilihan yaitu (1) didasarkan pada UU pilkada No. 1/2015 juncto No. 10/2016 yang terpisah dari UU pemda (2) administrasi pemilu sepenuhnya mengikuti APBN (3) sengketa hasil pilkada sementara menjadi kewenangan MK sebelum dibentuknya peradilan khusus pemilu (4) sumber pendanaan pilkada dari APBD dan dapat didanai dari APBN (5) munculnya terminologi ”PEMILIHAN” menggantikan terminologi ”PEMILUKADA” (6) KPU Prov dan KPU Kab/Kota tetap bertanggungjawab kepada KPU setingkat di atasnya dan kepada publik melaluipublic notice.

Jalan tengah yang diambil para formulator kebijakan di DPR ini merupakan kebijakan yang terbuka open legal policymengikuti sumber hukum utama pilkada dalam konstitusi yang sewaktu-waktu bisa berubah (pasal 18 UUD 1945 butir 4), juga merupakan kebijakan yang menggantung, tidak kembali ke masa lalu rezim pemerintahan daerah juga tidak sampai ke masa depan rezim pemilu nasional, namun demikian meskipun disebut rezim tersendiri rezim pemilihan, secara teknis lebih dekat kepada rezim pemilu nasional hal ini disebabkan karena telah dimasukannya pilkada ke dalam agenda pemilu serentak nasional tahun 2024 (UU pilkada) atau tahun 2027 (RUU pemilu) atau sebutan penulis sebagai pemilu 7 kotak suara, kotak suara untuk pemilihan (1)Presiden dan Wakil Presiden, (2)DPR, (3)DPD, (4)DPRD Prov, (5)DPRD Kab/Kota, (6)Gubernur serta Kotak Pemilihan (7)Bupati/Walikota, sehingga dalam kerangka pilkada serentak nasional sesungguhnya pemilihan kepala daerah bagian dari rezim pemilu nasional.

Terlepas dari jalan tengah yang menggantung ini, hal yang kritis dan krusial adalah bagaimana nasib UU pilkada No 10/2016 kelak setelah RUU pemilu ditetapkan? tentunya akan terdapat disharmoni norma dan terminologi antara UU pilkada dan UU pemilu sebagai konsekuensi tidak dimasukkanya UU pilkada ke dalam satu kodifikasi, satu standar dan satu kitab suci pemilu, sebagai konsekuensi perbedaan paradigma rezim yang diambil. Artinya kalau UU pilkada tidak dilakukan revisi penyesuaian sampai dengan berakhirnya gelombang ketiga pilkada serentak 2018 dan penulis berharap demikian, maka stakeholders pilkada dan pemilu harus lebih cermat memilah dan memilih penggunaan kedua UU tersebut dalam praktiknya apakah termasuk ruang lingkup pilkada atau ruang lingkup pemilu dalam tahapan yang beririsan, semoga disharmoni norma dan terminologi tersebut tidak menjadi kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun